Dari Pameran “Semesta Kita” Menuju Festival Bebas Batas 2019

Pameran seni rupa di BBB kali ini mengetengahkan tajuk “Semesta Kita”, menghadikan 63 karya terpilih dari empat seniman muda berbakat

Editor: Irma Budiarti
Bentara Budaya Bali
Pembukaan pameran “Semesta Kita” di Bentara Budaya Bali akan dilaksanakan hari ini, Jumat (18/1/2019). 

Menuju Festival Bebas Batas 2019

Pameran “Semesta Kita” digagas dari tahun 2017 oleh Amalia Prabowo, Kanoraituha Wiwin, Wicaksono Adi dan Bentara Budaya Bali.

Pameran ini sekaligus merupakan rangkaian menuju Festival Bebas Batas 2019 yang diinisiasi oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Festival Bebas Batas merupakan festival pertama di Indonesia yang menampilkan karya-karya seni brilian dari para seniman disabilitas.

Dimulai pada tahun 2018, festival ini dirancang untuk menyempurnakan Asian Para Games yang diselenggarakan di Jakarta pada Oktober 2018, terselenggara atas kolaborasi antara Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Art Brut Collective, dan British Council Indonesia.

Festival ini adalah gagasan yang lahir dari pemikiran sekelompok seniman, kurator, dan aktivis, salah satunya seniman Hana Madness, yang mengunjungi the Unlimited Festival di London pada 2016 dan terinspirasi untuk membuat festival dengan semangat yang sama di Indonesia.

Melalui "Semesta Kita", yang dihadirkan bukan semata peristiwa kesenian dan ruang apresiasi yang bersifat sesaat, melainkan juga yang utama adalah mendorong rekahnya kepedulian bersama bagi segenap masyarakat, pemangku kepentingan dan tokoh-tokoh kompeten lainnya; guna membangun Gerakan Kesadaran Baru yang secara aktif dan berkelanjutan memperjuangkan kesamaan memeroleh penghagaan atau apresasi, serta kesetaraan dalam kebebasan berekspresi bagi pihak mana pun, terutama para kreator yang selama ini mengalami stigmatis dan terpinggirkan. 

Sebagai bagian dari upaya penyadaran dan gerakan kepedulian, "Semesta Kita" ini juga dimaknai dengan Timbang Pandang yang dijadwalkan berlangsung pada Sabtu (19/1/2019).

Menghadirkan narasumber Wicaksono Adi (Kurator), Dr. I Wayan Kun Adnyana (Seniman, Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Denpasar), Komang Rahayu Indrawati, S.Psi, M.Si, Psi. (Psikolog, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana), serta para pegiat dan pemerhati seni, guna berbagi pemahaman perihal pencapaian karya empat perupa muda ini, sekaligus mengkritisi berbagai kategori dalam seni yang dirasa tidak lagi selaras dengan nilai-nilai kekinian.

Di samping itu, akan dikedepankan pula pendalaman tentang Art Brut, seni-seni terpinggirkan atau outsider art, berikut dinamika seni kontemporer yang semakin lintas batas, melampaui segala yang dulu dianggap telah baku.

Sebagai catatan, dalam semangat yang sama, di penghujung tahun 2014, Bentara Budaya Bali menghadirkan peristiwa seni yang terbilang tidak biasa, pameran dua perupa, Dwi Putro (51) dan Ni Nyoman Tanjung (92).

Walau sudah mencipta ribuan karya, Dwi Putro Mulyo atau yang lebih dikenal dengan Pak Wi dari Jogjakarta serta Ni Nyoman Tanjung asal Banjar Besang, Desa Ababi, Karangasem, Bali, tak serta merta diakui karyanya sebagai hasil cipta kesenian.

Mereka memang tergolong sebagai seniman- seniman outsider art, sebuah istilah yang dikemukakan oleh kritikus seni dari Inggris, Rogers Cardinal pada tahun 1972, sewaktu menanggapi karya seni dari Afrika yang mengejutkan dunia denga keunikan dan keautentikannya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved