Hari Raya Nyepi

Ketua PHDI: Ogoh-ogoh Tak Harus Dibakar, Setelah Diarak Bisa Dijual atau Dipajang Kembali

Dikatakan Ketua PHDI, membakar ogoh-ogoh tidak diwajibkan karena ogoh-ogoh telah disomia (dinetralkan) dengan tirta penyomian dan tirta tawur

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Ahmad Firizqi Irwan
Pawai ogoh-ogoh di Jalan Gajah Mada tampak ramai dan meriah ditonton ribuan masyarakat Kota Denpasar, Rabu (6/3/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pada saat pengerupukan, umumnya banyak ogoh-ogoh yang diarak mengelilingi wilayah desa adat masing-masing.

Namun, setelah diarak tidak semua ogoh-ogoh dibakar atau dipralina.

Menurut Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, Prof I Gusti Ngurah Sudiana membakar ogoh-ogoh tidak diwajibkan karena ogoh-ogoh telah disomia (dinetralkan) dengan tirta penyomian dan tirta tawur.

“Dari pandangan Parisadha, membakar dan tidak membakar ogoh-ogoh hanya simbolis saja. Begitu disomia artinya sudah selesai, mau dibakar silakan, jika tidak juga tidak apa-apa karena sudah disomia dengan tirta penyomia dan tirta tawur, itu kuncinya,” terang Prof Sudiana saat dihubungi Tribun Bali, Jumat (8/3/2019).

Baca: Hujan Deras Saat Nyepi Sebabkan Banjir & Longsor, Pohon 15 Meter Tumbang Timpa 3 Toko di Buleleng

Baca: Pasca Nyepi, Jalan Raya Sempidi Terpantau Lengang

Prof Sudiana menjelaskan, sah-sah saja kalau sekaa teruna di suatu banjar meletakkan atau memajang ogoh-ogohnya setelah diarak karena menurutnya itu merupakan karya seni yang sudah disomia.

Namun, ia mengimbau jika ogoh-ogoh tersebut merusak pemandangan mestinya dipralina saja, dan sebaiknya jangan dipajang di pinggir jalan agar tidak mengganggu lalu lintas.

“Tidak kenapa (dipajang) asalkan tidak mengganggu lalu lintas dan nantinya dipindahkan ke tempat yang lebih aman,” tuturnya.

Ia juga berkelakar agar bandara, hotel-hotel, vila ataupun instansi-instansi yang berkaitan dengan pariwisata supaya membeli ogoh-ogoh tersebut, kemudian dipajang di tempatnya masing-masing, di samping juga untuk mengembalikan modal membuat ogoh-ogoh itu. 

Baca: Begini Potret Sederhana Happy Salma dan Adik Iparnya Tjokorda Maya Saat Persiapan Nyepi

Baca: Inilah Para Artis Tanah Air Yang Merayakan Hari Raya Nyepi, Ada Yang Berfoto Bersama Ogoh-ogoh

“Pajanglah di banjar-banjar, bila perlu di bandara atau hotel sebagai ciri khas perayaan Nyepi di Bali. Kan tamunya jadi senang, tidak apa-apa (jika tidak dibakar),” ujar pria yang yang juga menjabat sebagai Rektor IHDN ini.

Terkait perubahan bentuk ogoh-ogoh dari waktu ke waktu, ia mengatakan boleh saja karena adanya perkembangan seni dan kreativitas, namun sambungnya, harus tetap pada pakem bhuta kala yang wujudnya seram dan hal itu memang yang harus dikuatkan.

“Perkembangan dari variasi itu wajar, tetapi jika perkembangan menyalahi tatwanya, ini yang perlu dikembalikan. Misalkan, para Dewa dipakai ogoh-ogoh kan tidak sesuai,” katanya. 

Tambahnya, bentuk ogoh-ogoh semestinya juga jangan sampai lepas dari pakem yang ada.

Baca: Bali Tetap Jadi Tujuan Wisata Meski Tengah Merayakan Nyepi, Suasana Nyepi Bagian dari Daya Tarik

Baca: Ketika Semuanya Hening Dan Tanpa Gerak, Inilah Hari Suci Nyepi di Bali

Menurutnya, masalah perkembangan variasi tidak apa-apa, yang penting jangan mambuat bentuk-bentuk yang sensitif dan menyinggung perasaan orang lain.

Menurutnya, ogoh-ogoh adalah simbol bhuta kala yang sudah disomiakan dengan tirta tawur supaya bhuta kala ini berubah menjadi sifat-sifat dewa.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved