News Analysis: Sistem PPDB Kayak Lomba Lari
Dari sejak awal pendaftaran sudah memunculkan berbagai masalah hingga membuat orangtua siswa kelabakan dan kebingungan
Penulis: eurazmy | Editor: Irma Budiarti
News Analysis: Sistem PPDB Kayak Lomba Lari
News Analysis oleh Prof Dr Putu Rumawan Salain, Pengamat Pendidikan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) tingkat SMP Negeri saya kira memang banyak masalah.
Dari sejak awal pendaftaran sudah memunculkan berbagai masalah hingga membuat orangtua siswa kelabakan dan kebingungan.
Diawali dari kewajiban peserta untuk memiliki token untuk registrasi online untuk mendaftar jalur zonasi jarak terdekat serta jalur siswa tak mampu dan inklusi.
Mekanisme ini membuat antrean membeludak di seluruh SMP di Denpasar, begitu juga di Rumah Pintar bagi jalur siswa tak mampu dan inklusi.
Ada orangtua murid yang sampai rela cuti kerja, ada juga harus berangkat sedari dini hari untuk mendapatkan token ini.
Baca: Badung Gelontorkan Rp 19 M untuk Taman Puspem, Tata Ulang Pintu Utama dan Bangun Kolam
Baca: Rebutkan 324 Kursi SMA Negeri 4 Denpasar, Hari Kedua Sudah Ada 1.260 Pendaftar
Nah, menurut saya ini adalah masalah. Sistem yang harusnya mempermudah kok jadi mempersulit.
Karena itu mekanisme token ini perlu dievaluasi. Terlebih PPDB sudah seluruhnya berbasis online.
Calon siswa pun tak mudah mendapatkan sekolah pada sistem zonasi saat ini. Mereka hanya memiliki satu pilihan sekolah yang terdekat dengan rumahnya.
Itu pun masih didasarkan pada sistem perangkingan berdasarkan kecepatan mendaftar. Siapa cepat dia yang dapat. Sistem ini kok malah jadi kayak lomba lari.
Rasanya perlu dikasi dua pilihan sekolah di jalur zonasi. Jadi gak hanya satu pilihan yang mempersulit siswa mendapatkan sekolah negeri.
Baca: Nyawa Jro Mahayoni Berakhir di Tangan Suami, Jro Mangku Sumerta Tikam Perut Istri Diduga Sakit Hati
Baca: Arta Cuti Kerja Demi Pendidikan Anaknya, PPDB Jalur Zonasi dan Suka Duka Orangtua
Dan juga tak perlu ada sistem cepat-cepatan sperti sekarang yang membuat makin kacau.
Jadi belajar dari kondisi di lapangan, rasanya sistem PPDB zonasi yang diterapkan saat ini perlu dievaluasi.
Mungkin tujuannya sudah baik, tapi kekhawatiran saya dari hal kecil seperti ini ibarat kayak rusak nila setitik, rusak susu sebelanga.
Saya juga memandang bahwa perlu adanya lagi pertimbangan dalam mengapresiasi nilai NEM siswa sebagai tolok ukur dalam seleksi PPDB.
Tidak adanya lagi syarat utama NEM dalam seleksi bisa berpengaruh terhadap kualitas pendidikan.
Bagi peraih nilai NEM tertinggi bisa disebar di seluruh sekolah jika memang bermaksud untuk menghilangkan kasta sekolah favorit. (*)