Community

Bali Deaf Community, Saling Memberi Semangat dan Rasa Pede

Waktu itu memang belum ada kontes serupa untuk wakil Indonesia, akhirnya saya ditunjuk langsung untuk mewakili Indonesia

Penulis: Niken Wresthi KM | Editor: Agung Yulianto
Bali Deaf Community, Saling Memberi Semangat dan Rasa Pede - bdc_(1).jpg
Tribun Bali/Niken Wresthi
Bali Deaf Community, Saling Memberi Semangat dan Rasa Pede - bdc_(2).jpg
Tribun Bali/Niken Wresthi
Bali Deaf Community, Saling Memberi Semangat dan Rasa Pede - bdc_(3).jpg
Tribun Bali/Niken Wresthi
Bali Deaf Community, Saling Memberi Semangat dan Rasa Pede - bdc.jpg
Tribun Bali/Niken Wresthi

Laporan Wartawan Tribun Bali, Niken Wreshti

“KAMI ingin bahasa kami tidak hanya mudah dipahami oleh kaum kami sendiri, tapi juga oleh kaum mendengar,” ujar Gede Putra Wirawan dengan penuh hati-hati, pada sebuah aksi mengajar Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) di Lapangan Puputan, Renon, Denpasar, beberapa waktu lalu.

Pria yang biasa disapa Ade ini adalah seorang penyandang tunarungu sekaligus pendiri sebuah komunitas tunarungu bernama Bali Deaf Community (BDC) pada Oktober 2013.

Komunitas ini bukan satu-satunya komunitas atau perkumpulan penyandang tunarungu. Justru, kelahiran BDC berawal dari keaktifan Ade pada komunitas serupa yang berusia lebih tua, yakni Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin).

Hanya saja Gerkatin yang terbagi lagi menjadi dua bagian, yakni Provinsi Bali dan Kota Denpasar, ini didominasi oleh penyandang tunarungu yang berusia 30 tahun ke atas.

“Saya ingin, kaum muda-mudi penyandang tunarungu ini juga punya komunitasnya sendiri. Pakai nama community untuk lebih menunjukkan kesan muda pada perkumpulan,” kata pria kelahiran 1991 ini.

Komunitas yang khusus menaungi kaum tunarungu ini cukup banyak, jumlah teman atau pengikut pada akun Facebook dan Twitter mencapai lebih dari 100 orang. Meski dalam kegiatan yang bersifat offline atau tatap muka, hanya sebagian dari seluruh jumlah pengikut yang dapat hadir.

Ade mengatakan, melalui komunitas ini, dia berharap sesama penyandang tunarungu bisa saling menularkan semangat dan rasa percayaan diri.

“Saya pribadi berharap dengan adanya komunitas ini, kami bisa saling bertukar semangat, supaya tidak merasa minder meski bergaul dengan kaum mendengar,” ujar pria dengan tubuh setinggi 187 cm ini.

Kaum mendengar adalah istilah yang Ade gunakan untuk menyebut masyarakat bukan penyandang tunarungu. Satu bentuk rasa percaya diri yang ingin ditularkan adalah prestasi serupa kaum mendengar yang juga bisa diraih penyandang tunarungu.

Pada 2012 Ade berhasil meraih lima besar dalam ajang Mister Deaf International yang diselenggarakan di Turki. Pada tahun yang sama, pria berkulit sawo ini juga memenangkan penghargaan sebagai Mister Deaf Congeniality.

“Waktu itu memang belum ada kontes serupa untuk wakil Indonesia, akhirnya saya ditunjuk langsung untuk mewakili Indonesia dalam kontes itu,” kata Ade.

Menurutnya, penunjukkan langsung itu mungkin berdasarkan beberapa prestasi yang pernah diraih Ade sebelumnya. Semasa sekolah, pria yang menekuni studi lanjut di bidang desain grafis ini sempat memenangkan beberapa kompetisi pada bidang tersebut.

Tak hanya Ade, tampaknya semangat rasa percaya diri ini pun menular pada anggota BDC lain. Beberapa hari sebelum BDC merayakan ulang tahunnya yang pertama, Yuliana, wakil ketua BDC pun memenangkan penghargaan dari wali kota Denpasar di ajang Teruna Teruni Tunarungu Denpasar 2014.

Kegiatan ini tak pula melulu berkumpul sesama penyandang tunarungu. Melainkan pula turut serta dalam kegiatan dan aksi sosial. Baik itu berkenaan dengan kesejahteraan kaum tunarungu maupun aksi sosial lain.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved