Citizen Journalism

Unik, Pendidikan Formal SDN 2 Bengkala Ajarkan Siswa Bisu Tuli

Pihak sekolah merasa terpanggil melihat anak kolok agar mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak yang normal.

Tribun Bali/ Istimewa
Pengajaran di SD Negeri 2 Bengkala 

Penulis Kadek Dewi Sariani, Karangasem

Umumnya, anak-anak berkebutuhan khusus menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, anak-anak tunarungu dan tunawicara di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng bisa menikmati masa-masa sekolah dasar di SD Negeri 2 Bengkala.

Terhitung sejak 19 Juli 2007 lalu, SD Negeri 2 Bengkala mulai menyelenggarakan pendidikan inklusi sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus di Desa Bengkala.

Penasaran dengan keunikan pendidikan inklusi ini, penulis menyempatkan diri mengunjungi sekolah di Desa Bengkala itu, Sabtu (15/2/2015). Begitu memasuki halaman sekolah, pengunjung disapa dengan kerindangan tatanan taman dan kebersihan sekolah. Sebuah tugu biru bertuliskan SD Negeri 2 Bengkala Penyelenggara Sekolah Inklusi turut menyapa dan memberikan kesan keunikan sekolah ini.

Kepala SD Negeri 2 Bengkala, Nyoman Wijana, mengatakan bahwa gagasan penyelenggaraan pendidikan inklusi ini berawal dari keprihatinan sekolah akan pendidikan anak-anak tuli bisu di Desa Bengkala.

“Ya, biar anak-anak kolok (tunawicara) ini mendapat pendidikan formal. Namun, di luar formal ada yang membimbing anak-anak itu di luar sekolah,” kenang Wijana.

Pada awalnya, pihak sekolah bersama Ketut Kanta, guru khusus siswa tuli bisu di SD Negeri 2 Bengkala, hanya ingin pembelajaran bersama-sama antara siswa kolok dan siswa normal. Pihak sekolah merasa terpanggil melihat anak kolok agar mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak  yang normal. Bahkan, antara Nyoman Wijana dan Ketut Kanta sebelumnya tidak saling mengenal.

Oleh karena itu, baik Nyoman Wijana maupun Ketut Kanta tidak menyangka pendidikan untuk anak-anak tunawicara dan tunarungu di Desa Bengkala bisa berjalan sejauh ini.

Ihwal kepedulian pendidikan anak-anak tuli bisu ini juga berawal dari kedatangan seorang peneliti berkebangsaan Belanda yang meneliti bahasa kolok di Desa Bengkala.

“Dia tanya, orang tuli bisu di sini kebanyakan sekolah apa tidak? Akhirnya, saya bilang tidak sekolah. Walaupun pemerintah sudah menyiapkan SLB, cuma kondisi ekonominya miskin, jaraknya jauh, dan tenaga mereka diperlukan oleh keluarganya sehingga jelas tidak bisa sekolah. Berawal dari ide dia dan saya, kalau begitu coba diadakan pendidikan di rumah saya kasihan orang tuli bisu tidak bisa sekolah,” papar Ketut Kanta.

Pada awalnya, alumnus Unud ini memberikan pelajaran menghitung, menulis, dan mengetahui alfabet. Tidak hanya itu, dari kode-kode yang sudah diketahui siswa tuli bisu, Ketut Kanta mengajak siswa memberi arti untuk setiap kode. Uniknya, Ketut Kanta tidak pernah

mendapatkan pendidikan khusus tentang bahasa isyarat, tetapi begitu mahir dan paham bercakap- cakap dengan siswa tuli bisu. Mungkin tidak ada yang percaya, Ketut Kanta adalah seorang sarjana ekonomi.

“Waktu kecil, bapak saya sering minta tolong dan bercakap-cakap dengan orang tuli bisu. Dari sana saya sering melihat kode-kode itu dan sedikit demi sedikit belajar sambil terus bertanya maksud kode-kode itu,” kenang Ketut Kanta.

Karena sering bergaul dengan warga tuli bisu, Ketut Kanta menjadi fasih bercakap-cakap dengan bahasa isyarat. Uniknya, Ketut Kanta tidak merasa terlalu sulit belajar bahasa isyarat. “Pokoknya jika kita belajar, segala sesuatu itu pasti bisa. Tidak ada sesuatu yang begitu susah, kecuali yang tidak menyenangkan.”

Sekian lama bergelut mendidik anak-anak tuli bisu, Ketut Kanta merasakan tantangan mengajar anak berkebutuhan khusus ini hanya ketika harus bersabar menghadapi sikap si anak yang cenderung memiliki ego tinggi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved