Indahnya Tradisi Mepeed di Ubud Bali, Bukan untuk Jor-joran
Wanita di Ubud ini terlihat cantik dalam balutan kebaya dan kamen (kain) merah seragam, menjunjung sesajen. Tradisi Mepeed tetap dilestarikan
Laporan Wartawan Tribun Bali, AA Putu Santiasa Putra
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Sejumlah ibu-ibu krama Banjar Kutuh, Desa Pakraman Sayan, Desa Dinas Sayan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali berkumpul di pinggiran jalan, Jumat (29/5/2015) sekitar pukul 17.00 Wita.
Mengenakan kostum PKK yakni kebaya dan kamen (kain) merah, mereka menunggu iring-iringan krama banjar yang sedang menuju pura desa dan puseh melakukan persembahyangan.
Prosesi ini dikenal dengan Mepeed.
Haturan (sesajen) yang berupa susunan bertingkat dari varian sejumlah buah di atas bokor (wadah) diletakkan di atas pagar atau tempat datar yang ada di pinggir jalan.
Ketika barisan yang diiringi gamelan tersebut berjalan, mereka bergegas memasang suwunan (bantalan sebagai alas sesajen di kepala) kemudian banten disuwun (diusung) di atas kepala dan satu per satu masuk ke dalam iringan tersebut.
Menurut Kelian Dinas Dewa Ngakan Nyoman Winaya, prosesi ini sudah berlangsung sejak dulu dan menjadi warisan leluhur yang dilestarikan hingga kini.
Ia menjelaskan, Desa Pakraman Sayan terdiri dari enam banjar adat yakni Banjar Kutuh, Pande, Mas, Baung, Sindu, dan Ambengan.
Enam banjar ini memiliki tanggungjawab untuk mengadakan upacara pujawali di pura Khayangan Tiga, yaitu Pura Desa, Puseh dan Dalem secara bergiliran dalam waktu yang sudah ditentukan bersama.
Biasanya saat pujawali dua banjar ditunjuk bersamaan.
“Sedangkan empat banjar adat lainnya ikut membantu mengeluarkan haturan yakni dengan cara mepeed bersama-sama menuju pura,” ujarnya kepada Tribun Bali saat ditemui di rumahnya, kemarin.
Ia menambahkan makna dari penyelenggaraan ini untuk mempererat tali kebersamaan sesama krama banjar baik bapak-bapak maupun ibu-ibu.
Tapi aturannya fleksibel, tidak mengharuskan warga untuk ikut mepeed.