Tapakan Rangda Meregang Nyawa
PHDI Jembrana: Tradisi Sakral Calonarang Jangan Libatkan Anak-anak
Kesenian calonarang ini merupakan kesenian yang bersifat sangat sakral dengan unsur niskala yang sangat kental. Ini kata PHDI Jembrana...
Penulis: I Gede Jaka Santhosa | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, NEGARA - Meninggalnya I Komang Ngurah Trisna Para Merta (14) yang sempat tertusuk keris saat pementasan calonarang beberapa waktu lalu mengundang perhatian sejumlah pihak.
Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI) Jembrana berharap sekaa-sekaa calonarang di Kabupaten Jembrana tak lagi melibatkan anak di bawah umur di dalam pementasan tradisi yang dinilai sakral ini.
Ketua PHDI Kabupaten Jembrana, I Komang Arsana Minggu (18/10/2015) mengatakan, pihaknya sangat prihatin terhadap musibah yang menimpa almarhum Trisna pada Senin (12/10/2015).
Menurutnya, kesenian calonarang ini merupakan kesenian yang bersifat sangat sakral dengan unsur niskala yang sangat kental.
Sehingga kedepannya, bagi sekaa-sekaa kesenian yang hendak mementaskan atraksi kesenian ini diimbau agar benar-benar matang dalam persiapan.
Juga sebisa mungkin tidak mengikutsertakan anak-anak di bawah umur.
"Ini musibah namanya. Jadi tidak bisa dicari siapa yang benar dan siapa yang salah. Apalagi kesenian calonarang ini sangat sakral yang memang erat kaitannya dengan niskala yang harus dipersiapkan secara matang," jelasnya.
"Tiang imbau ke depan agar sekaa yang ada jangan melibatkan anak-anak karena fisik dan mental mereka belum siap menghadapi ini. Selain itu Jro Mangku atau pawangnya juga harus sangat siap menghadapi segala kemungkinan yang ada," jelas Arsana.
Hal senada dikatakan seorang pelaku kesenian calonarang yang sudah terkenal di Kabupaten Jembrana, Dewa Made Mudiana.
Ia mengatakan, kesenian calonarang ini memang kesenian di Bali yang prosesinya sangat sakral dengan unsur sekala-niskala yang sangat kuat.
Selain itu, untuk mementaskan kesenian calonarang ini tidaklah mudah.
Pasalnya, selain harus benar-benar menguasai sastra terkait juga harus berusia di atas 50 tahun sesuai dengan yang ada pada lontar Siwa Griguh.
Oleh sebab itu, ia mengimbau agar kesenian calonarang ini ke depan tidak hanya dikomersilkan atau dipentaskan saja, namun harus dipahami betul sastra-sastra yang melatarbelakanginya.
"Ini sifatnya durga, jadi tidak bisa dibawa ke rumah. Makanya, bagi mereka yang suka melaksanakan sesolahan minimal harus bisa menguasai lontar Siwa Griguh. Sebab lontar inilah yang nanti bisa mematangkannya," katanya.
"Setelah diupacarai, harus berumur 50 tahun ke atas baru bisa membuka sastra-sastra itu karena satra itu mengandung kekuatan supranatural," jelas Mudiana yang juga tokoh masyarakat Desa Yeh Kuning, Kecamatan Jembrana. (*)