Kisah Sobar, Penjual Cobek Keliling Sejak Jaman Soeharto

Tak jarang dagangannya utuh, dan kembali ke rumah tanpa sepeser rupiah di tangannya yang kini sudah penuh kerutan itu.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: gunawan
Tribun Bali
Sobar dan cobek yang dijajakannya di pinggir jalan Diponegoro. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam usia senja yang seharusnya istrirahat di rumah, Sobar masih memikul puluhan kilogram cobek di kedua pundaknya. Setiap hari sedari pagi, pria berusia 80 tahun ini mengelilingi wilayah Denpasar demi mengais rejeki.

Fajar menyingsing, pukul 08.00 Wita Sobar mulai menyusun cobek dari ukuran besar hingga kecil menjadi 5 tingkatan. Ia pun mulai menyusuri jalanan Diponegoro hingga wilayah Sanglah, Denpasar.

Ia berjalan perlahan memikul cobek batu berwarna hitam ke abu-abuan yang beratnya mencapai 45 kilogram, jauh dari berat badannya sendiri yang hanya 35 kilogram.

Walau demikian, pria asli Kebumen, Jawa Tengah ini, telah melakoninya sejak jaman Presiden RI dijabat Soeharto.

“Saya tinggal di Jalan Dr Sutomo, sejak tahun 1998. Sejak saat itu saya berjualan cobek sampai sekarang,” katanya sembari mengusap peluh di kening, Rabu (21/10/2015).

Awalnya di tanah Jawa, ia hanya seorang buruh tani dengan penghasilan pas-pasan dan terkadang kurang.

Berupaya memenuhi kebutuhan hidup istri beserta 6 anak, Sobar memberanikan diri merantau ke Bali dan menjadi penjual cobek keliling.

“Saya cuma tamatan SD, ada 12 cucu di kampung. Ya yang ada pekerjaan ini, maka ini yang saya lakoni demi makan dan mengirim uang pada keluarga,” katanya.

Tak dinyana, berkat kegigihan dari tubuh rentanya, pria ini mampu menghasilkan Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per hari.

Harga rata-rata cobek yang dijajakannya Rp 10 ribu untuk ukuran kecil, sementara yang ukuran besar harganya sekitar Rp 45 ribu.

“Ya sebulan saya bisa mengumpulkan Rp 2 juta, bahkan pernah sampai Rp 5 juta. Setengah lebih saya kirim ke rumah sisanya buat bayar kos di Bali dan makan,” katanya sumringah.

Baginya, hujan dan panas terik bukanlah halangan untuk mencari rejeki. Walau demikian, tak jarang dagangannya utuh dan ia kembali ke rumah tanpa sepeser rupiah di tangannya yang kini sudah penuh kerutan itu.

“Tapi saya tetap bersyukur bisa menyekolahkan 6 anak sampai tamat SMA dengan hasil kerja bukan minta-minta,” ujarnya.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved