Inilah Rumah yang Dulu Sering Jadi Persinggahan Pasukan Ciung Wanara

Terletak di Banjar Tegal Jadi, Desa Jadi, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali rumah orang tua Wayan Sumatera (65) agak jauh dari pemukiman warga.

Penulis: I Made Argawa | Editor: gunawan
Tribun Bali
I Nyoman Sumatera memegang monumen sederhana di depan rumahnya yang dibuatnya untuk mengingat jika rumahnya pada masa perang kemerdekaan pernah dijadikan tempat persinggahan oleh pasukan greliya Ciung Wanara maupun pasukan perang kemerdekaan sebelumnya. 

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Terletak di Banjar Tegal Jadi, Desa Jadi, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali rumah orang tua Wayan Sumatera (65) agak jauh dari pemukiman warga.

Menuju ke rumah yang lima tahun terakhir kosong itu harus melewati pematang sawah sepanjang 500 meter ke barat dari jalan utama Banjar Tegal Jadi.

Rumah itu kosong karena orang tuanya, I Made Rindi dan Ni Made Ranus telah meninggal dunia tahun 2010 lalu.

Setelah masa proklamasi, atau tahun 1946 dan sebelumnya, rumah penuh kenangan dan sejarah milik Sumatera itu menjadi tempat persinggahan bagi pejuang kemerdekaan maupun pasukan Ciung Wanara.

“Ini hanya salah satu rumah, di Banjar Tegal Jadi ada tiga rumah dan dua tegalan yang menjadi tempat persembunyian Nyingkir  atau pasukan gerilya perang kemerdekaan ataupun pasukan Ciung Wanara,” ujarnya, (22/11/2015).

Pensiunan PNS di Pemkab Tabanan itu menerangkan rumah orang tuanya yang kini ditempati oleh adiknya, I Wayan Wija Kusuma itu sesuai sebagai tempat singgah maupun istirahat bagi para pejuang gerilya karena dekat dengan sungai.

Ketika ada pemeriksaan oleh tentara Nica maka pejuang akan sembunyi di sungai yang berada di barat rumah tersebut.

“Dari penuturan almarhum ketua legiun Veteran Tabanan Pak Pancer kepada saya, salah satu pejuang Mayor I Gusti Wayan Debes sering ke rumah ini,” tuturnya.

Dari sekian pejuang yang singgah, orang tua dari Sumatera atau neneknya Ni Made Rereh sering memasakkan pejuang dengan bahan makanan yang dibawakan oleh masyarakat sekitar, mulai dari ayam, bebek hingga godel (anak sapi) diberikan oleh warga untuk pasukan gerilya.

“Yang paling istimewa adalah dendeng godel, karena disukai dan bisa bertahan lama, karena pasukan greliya datangnya tidak tentu bisa seminggu atau sebulan sekali,  dengan rombongan antara tujuh hingga 10 orang,” ujar Sumatera sesuai cerita Pak Pancer.

Kini rumah yang bersejarah tersebut tidak sesuai lagi dengan bentuk awalnya yang memiliki empat bangunan yang semuanya terbuat dari bambu, karena rumah bambu yang terdiri darii Bale saka (tiang) enam, meten, jineng dan dapur telah di bawa ke Jakarta ke museum ABRI saat peresmian patung Debes dan Wagimin di Tabanan.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved