Eksekusi di Kampung Bugis Serangan
Sah Milik Maisarah, Kuasa Hukum Warga di Kampung Bugis Serangan Sebut Dokumen Dipalsukan
Pihaknya mengatakan, dalam putusan MA, tertera batas-batas sebelah timur adalah tanah Haji Muhamad Anwar dan tanah kehutanan.
Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ditemui di sela eksekusi, pengacara warga Rizal Akbar menyatakan akan terus melakukan upaya hukum.
"Kami akan laporkan dan akan melakukan upaya hukum. Kami melawan karena, pertama pemberitaan eksekusi ditulis di sana putusan Mahkamah Agung (MA) kasasi No 3081/PDT/2012 tanggal 22 Maret 2012. Itu tidak ada putusan eksekusi nomor itu, yang ada tahun 2010," katanya.
Pihaknya mengatakan, dalam putusan MA, tertera batas-batas sebelah timur adalah tanah Haji Muhamad Anwar dan tanah kehutanan.
Baca: VIDEO: Suasana Bentrok saat Eksekusi Kampung Bugis, Seorang Polisi Tertusuk Panah
Baca: VIDEO : Miris, Ini Buruh Juru Sita Pencuri Uang dan Perhiasan di Rumah Warga saat Eksekusi

Proses eksekusi lahan rumah milik 36 kepala keluarga (KK) di Kampung Bugis, Serangan, Denpasar, Bali, Selasa (3/1/2017). Petugas Pengadilan Negeri (PN) Denpasar telah meratakan lahan yang dihuni ratusan warga Bugis. (Tribun Bali/ Rizal Fanany)
Baca: Tidur di Emperan Pasca Digusur di Kampung Bugis Serangan, Siti Pernah Ditawarkan Rp 50 Juta
Baca: Eksekusi Lahan di Kampung Bugis Serangan Berawal dari Sengketa Kepemilikan 2 Pihak Ini!
Rizal Akbar menilai eksekusi yang dilakukan salah batas.
"Sebelum dilaksanakan eksekusi kami akan minta dulu, mana yang maksud dengan tanah kehutanan dan mana tanah Haji Muhamad Anwar. Ini salah batas. Kalau sudah salah batas berarti tidak bisa terjadi eksekusi," ujarnya dengan nada tinggi, Selasa (3/1/2017).
Dijelaskannya, eksekusi untuk menjamin kepastian hukum dan untuk itu batas dan luas tanah harus jelas.
Oleh karena itu yang berwenang untuk menentukan itu adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"BPN tidak dilibatkan dalam eksekusi ini, dan eksekusi tidak jelas. Kami akan tolak. Kalau sesuai dengan putusan dan kepastian hukum warga kami sangat taat hukum dan akan menerima," paparnya.
Rizal juga mengatakan akan mengajukan peninjauan kembali (PK).
Sebelumnya PK yang diajukan warga tahun 2015 tidak dikabulkan.
"Sekarang kami memiliki bukti baru, yakni perihal penerbitan sertifikat yang dijadikan alasan oleh Maisaroh untuk menggusur warga cacat hukum," katanya.
Rizal menyebut, Maisarah menggunakan dokumen palsu untuk mensertifikatkan tanah warga.
Itu diketahuinya dari data-data di Kantor Pertanahan Depasar, dimana ada dua sertifikat dengan dua objek yang menggunakan satu dokumen yang dipalsukan.
Putusan PK
Di sisi lain, kuasa hukum Siti Maisarah yaitu Haposan Sihombing menyatakan, tanah yang ditempati 36 KK tersebut adalah sah milik kliennya.
"Tanah ini adalah hak klien kami dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
Dari tahun 2009 diajukan sampai tahun 2016 artinya sertifikat ini adalah sah milik klien kami Siti Maisarah," ungkapnya.
Berdasarkan putusan yang tidak mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan warga tahun 2015, maka tanah yang ditinggali oleh 36 KK harus dikosongkan.
"Sebenarnya dalam surat pernyataaan, warga yang terkena eksekusi sudah bersedia mengosongkan rumahnya.
Karena tidak dikosongkan, tentunya kepaniteraan PN meminta bantuan aparat negara dalam hal ini membantu mengamankan proses eksekusi," ujarnya.
Ditanya pihak tergugat (warga) melalui kuasa hukumnya akan kembali melakukan upaya hukum, Haposan mempersilakan.
"Kalau masalah upaya hukum itu adalah hak dari mereka. Artinya dalam upaya hukum, kalau suatu saat mereka bisa membuktikan, mereka bisa mengeksekusi balik," paparnya.
Menurut Haposan, secara hukum warga sudah mengakui putusan dan ada surat pernyataan tertanggal 27 Februari 2014 yang menyatakan bahwa warga mengakui putusan itu dan meminta waktu mengosongkan sendiri dengan tenggang waktu tiga bulan.
"Namun saat eksekusi yang kedua dilaksanakan bulan Juni tahun 2014 ditunda lantaran situasi tidak kondusif," katanya.
Tahun 2015 warga mengajukan PK.
Warga pun menyatakan jika PK tidak dikabulkan, siap mengosongkan lahan.
"Sudah dua kali warga menyatakan akan mengosongkan sendiri. Ini eksekusi ketiga pasca putusan PK tahun 2015. Jadi segala upaya hukum sudah dilakukan warga, apapun bukti-bukti atau dokumen harus di pengadilan. Dan itu sudah diajukan oleh kuasa hukum warga," terang Haposan.
Terkait pemberitahuan, pihaknya menyatakan sudah menyampaikan melalui surat pemberitahuan.
Bahkan sempat mengadakan pertemuan dengan warga dan menyampaikan uang tali kasih.
"Pemberitahuan sudah disampaikan tiga kali surat pemberitahuan dari pengadilan sesuai permintaan lurah dan sudah sosialisasi.
Kepolisian Polda Bali pun sudah pernah mengundang warga dan kami juga sudah menawarkan tali kasih. Waktu itu kami tawarkan satu KK 50 juta. Kami tawarkan tahun 2014 dan terakhir (Desember 2016 di polda Bali) juga kami tawarkan tapi ditolak oleh warga," ungkapnya.
Dikatakan Haposan, 36 KK yang menempati lahan ini adalah bukan pemilik tanah dan warga menempati milik Siti Maisarah.
"Kalau kita mundur ke belakang, warga ini bukan pemilik tanah. Warga menempati tanah yang bukan miliknya dan mereka tidak ada hubungannya dengan klien kami. Riwayat tanah ini, sertifikat berdasarkan putusan pengadilan tahun 1974. Luas tanah yang dieksekusi 9.400 meter persegi," terangnya. (*)
