Gunung Agung Terkini
253 Krama Ngaturan Pekelem di Puncak Gunung Agung, Terlihat Jelas Ada Perubahan Yang Mengejutkan
Waktu itu rasa penasarannya terjawab setelah melihat langsung. Namun, kemarin dia mengaku terkejut karena melihat kondisi di puncak
Penulis: Saiful Rohim | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA - Ratusan umat Hindu dari berbagai daerah di Bali mekemit di Pura Pasar Agung, Desa Sebudi, Kecamatan Selat, Karangasem, Bali pada Rabu (1/11/2017) sekitar pukul 22.00 Wita.
Mereka datang untuk persiapan menggelar upacara ngaturan pakelem di Puncak Gunung Agung.
Koordinator upacara, I Wayan Bawa mengaku, kegiatan ngaturan pakelem mulai digelar sekitar pukul 01.00 Wita, Kamis (2/11/2017).
Sekitar 253 orang ikut serta mendaki gunung dengan ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu, dan membawa sesajen seperti kerbau, kambing, monyet, dan ayam.
Selama mendaki, krama tak merasa khawatir dan gentar walaupun status
Gunung Agung masih berada di level III (Siaga) dan bau asap solfatara terasa.
Keberanian mereka demi ngaturan ngayah kepada yang berstana di puncak gunung tertinggi di Bali itu.
"Semua berani naik ke atas. Nggak ada yang khawatir, apalagi takut. Yang naik perempuan dan laki-laki. Syukur prosesi upacara berjalan lancar," kata I Wayan Bawa saat dihubungi Tribun Bali, Kamis (2/11/2017) kemarin.
Ditambahkan, krama sampai di Puncak Gunung Agung sekitar pukul 06.00 Wita.
Saat itu juga proses persembahyangan dimulai.
Hewan yang dibawa, seperti kerbau, ayam, angsa, dan sesajen lainnya dibuang ke kawah Gunung Agung sesuai keyakinan.
"Sebelum ngaturan di puncak, krama juga ngaturan pekelem di tengah alas dengan cara melepas kerbau putih, menjangan, dan kera hitam (petu). Krama sampai kembali di bawah sekitar pukul 11.00 Wita. Syukur warga selamat semua, tak ada yang sampai kram," imbuh Wayan Bawa.
Kondisi di Puncak Gunung Agung sudah alami perubahan.
Di bagian utara kawah terlihat sekitar 15 lubang yang keluarkan asap solfatara dengan bau menyengat.
Di bagian tengah ada 2 titik.
Ratusan monyet juga terlihat mengikuti krama yang hendak ngaturan pekelem ke puncak gunung.
Volume asap yang keluar dari lubang banyak, dan tercium berbau belerang.
Asap yang keluar membumbung tinggi hingga ketinggian ratusan meter.
Di sekitar kawah hanya terdengar bunyi angin yang menyerupai desiran ombak, cukup keras.
Tak terasa ada gempa di puncak gunung.
Menurut I Wayan Bawa yang juga Perbekel Desa Peringsari, Kecamatan Selat, upacara ngaturan pekelem digelar secara perorangan bukan atas nama pemerintah atau instansi lain.
Ini digelar atas instruksi Dewa Beratha yang diperintah Jro Mangku Gede selaku penerima pewisik.
Kegiatan ini digelar murni untuk kebaikan Gunung Agung dan juga untuk melihat kondisi kawah gunung.
Krama menggelar sembahyang hingga selama satu jam, dan dipimpin langsung Jro Mangku Reta asal dari Desa Sebudi.
Saat sembahyang krama mendoakan agar gunung agung terus mebaik.
"Upacara ini digelar murni untuk ngaturan ngayah di puncak. Untuk kebaikan gunung, dan keselamatan masyarakat sekitar lereng. Seluruh krama yang naik ke atas mengaku terketuk hatinya. Untuk kegiatan ini kami sempat melapor ke camat, tapi tak direspon," akunya.
Pelinggsir Pura Pasar Agung, Jro Mangku Wayan Sukra juga menegaskan bahwa ngaturan pekelem murni untuk memohon keselamatan, dan terhindar dari bencana seperti erupsi Gunung Agung yang kini masih berstatus Siaga (Level III).
"Mungkin ada berapa kesalahan yang dibuat, sehingga krama harus menggelar ritual ini. Selain di Puncak Gunung Agung, kita juga ngaturan pekelem juga dilakukan di Pantai Watu Klotok, Klungkung, pada saat yang sama," ungkap Jro Mangku.
Umat Hindu mempercayai bahwa antara gunung dan laut memiliki satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Jro Mangku menambahkan, sehari setelah ngaturan pekelem, krama akan menggelar upacara dalam rangkaian Purnama Kelima di Pura Pasar Agung Sebudi.
Kemungkinan acara digelar sehari.
Hingga kemarin Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) masih menetapkan Gunung Agung berstatus Siaga.
PVMBG mengimbau masyarakat tidak melaksanakan aktivitas di sekitar lereng Gunung Agung dengan radius berbahaya sekitar enam kilometer dan perluasan sektoral 7,5 kilometer dari puncak kawah.
Kembali ke Pengungsian
Selain 253 warga yang melakukan ritual pakelem, ada juga serombongan kecil 7 warga yang naik ke Puncak Gunung Agung untuk menggelar ritual Prani Mapiuning.
Rombongan kecil itu dipimpin oleh Jero Mangku Ada, seorang pemangku di Desa Pakraman Temukus, Desa Besakih, Rendang, Karangasem.
Mereka naik ke Gunung Agung dari Pura Pangubengan Besakih. Ritual digelar di kawah sisi barat pada Kamis (2/11/2017) sekitar pukul 10 pagi.
Jero Mangku Ada dan rombongan tiba di kawah Gunung Agung sekitar pukul 09.30 Wita.
Ia bersama sejumlah krama lainnya berangkat naik dari Pura Pangubengan Besakih sekitar pukul 04.00 Wita.
Asap belerang sebelum tiba di puncak sudah tercium.
Kata Jreo Mangku Ada, ia harus pakai masker karena asap belerang kuat sekali tercium.
Ia terakhir naik ke Puncak Gunung Agung pada 29 Oktober lalu, juga untuk ngaturan bakti dengan sarana bakti pejati.
Jero Mangku Ada naik kembali ke puncak, karena rasa penasaran mendengar gaung Gunung Agung pada level Awas dan sudah mengeluarkan asap solfatara.
Waktu itu rasa penasarannya terjawab setelah melihat langsung.
Namun, kemarin dia mengaku terkejut karena melihat kondisi di puncak sudah ada perubahan.
Selain bau belerang menyengat hidung, muncul sumber asap baru di kubangan kawah.
Gemuruh suara di sekitar kawah pun juga semakin keras.
"Dibanding tanggal 29 Oktober lalu, sekarang sudah ada perubahan. Saat itu keyakinan saya tipis Gunung Agung bakal meletus. Tapi setelah melihat lagi tadi, memang kita harus memandang serius aktifnya Gunung Agung ini," ujar Jero Mangku Ada.
Kekhawatiran mulai terjadi pada Kamis (2/11/2017) malam pukul 21.00 Wita saat warga sekitar Desa Besakih melihat bahwa asap di Puncak Gunung Agung lebih tebal dari biasanya.
Penampakan Gunung Agung dari Pura Kiduling Kerteg juga menebal.
Bahkan penampakan asap kali ini dianggap paling tebal dari penampakan asap sebelumnya.
Inilah yang kemudian membuat mereka kembali menuju ke pos pengungsian masing-masing.
Dua jam berselang, kabut tebal kemudian menutup gunung sehingga tak terlihat lagi.
Namun, masih tetap ada warga yang bertahan di Besakih, karena warga menganggap kepulan asap seperti itu akhir-akhir ini sering terjadi.
Dan juga status gunung sudah di level 3, turun dari level sebelumnya.
Ada dari mereka yang mengungsi ke pos pengungsian Banjar Pande Galiran (Klungkung), pos pengungsian di Banjar Besang, pos Puri Boga Bukit Jambul Pesaban Rendang (Karangasem), dan beberapa yang lain pergi mengungsi ke rumah sanak saudara yang ada di Rendang.(*)