Simpang Ring Banjar
Mirip Bade, Ternyata Ada Cerita Pilu dalam Pembangunan Bale Kulkul Banjar Kedampal
Detail pepatrannya pun mengagumkan. Ketinggian bangunannya pun terlihat mencengangkan.
Penulis: Ni Putu Diah paramitha ganeshwari | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Berada di dalam kawasan Balai Banjar Kedampal, sebuah bale kulkul terlihat berdiri kokoh.
Bangunan itu memiliki gaya arsitektur yang unik.
Hiasan pepatran pada badannya termasuk megah untuk bangunan bale kulkul.
Detail pepatrannya pun mengagumkan. Ketinggian bangunannya pun terlihat mencengangkan.
Barangkali sampai belasan meter.
Ketika bertanya kepada warga, berapa kira-kira tinggi bale kulkul ini, tak satu pun yang memberikan ukuran pasti.
"Setinggi pohon kelapa," begitu masyarakat menggambarkannya.
Kelihan Dinas Banjar Kedampal, I Wayan Suandra, menuturkan bangunan bale kulkul itu memiliki nilai sejarah.
Pembangunannya selesai sejak 1941, setelah itu tidak pernah dipugar lagi, kecuali bagian atapnya yang berbahan ijuk.
"Bangunannya sangat kokoh. Bahkan ketika terjadi bencana gempa besar pada 1976, tidak ada tanda-tanda kerusakan. Padahal bangunan itu tidak menggunakan rangka besi, hanya rangka kayu besar. Bangunannya terbuat dari bahan padas yang konon dibawa dari Silakarang (Gianyar). Sebagai perekatnya digunakan tanah," tuturnya.
Keberadaan bangunan bale kulkul ini pun sangat dihormati oleh masyarakat Kedampal.
Hal ini tak lepas dari sejarah pembangunan bale kulkul.
Bangunan tinggi ini dibuat dengan pengorbanan beberapa pekerja.
"Setiap satu bagian selesai, ada saja pekerja yang meninggal. Kalau dilihat, rupanya arsitektur bale kulkul ini mirip dengan bade. Maka dari itu kami biasa menyebutnya sebagai wadah kulkul," tutur Wayan Suandra.
Sedangkan untuk kulkul (kentongan)nya dikatakan Wayan Suandra sudah mengalami pergantian.
Sekitar tahun 2004, kulkul lama diganti sebab sudah lapuk di makan usia.
Yang tergantung pada wadah kulkul yang sekarang adalah kulkul yang baru.
Ia pun menuturkan bagaimana hebatnya gema suara kulkul yang lama.
"Kulkul kami yang lama, ketika dipukul, suaranya terdengar hingga Desa Sembung,"ujarnya.
Namun kulkul saat ini gemanya tak sebesar kulkul lama.
Kendati demikian, masyarakat masih sangat menghormati bunyi kulkul tersebut.
Tak jauh berbeda dengan daerah lain, kulkul di Banjar Kedampal tidak dapat dibunyikan setiap saat.
Hanya pada waktu-waktu tertentu saja, semisal ada warga yang menikah, kelahiran, meninggal, rapat, dan gotong royong, juga bencana (kebakaran dan sebagainya).
Hanya mereka yang menjabat sebagai kelihan adat atau yang ditunjuk oleh kelihan adat yang bisa memukulnya.
Kalau kulkul dibunyikan pada saat dan oleh orang yang tidak tepat, maka akan dikenakan sanksi adat berupa denda.
Selain memiliki keunikan berupa bangunan bersejarah, Banjar Kedampal juga memiliki alat musik yang memiliki nilai histori. `
Gamelan Gambang namanya. Gambang adalah sejenis perangkat gamelan yang dibunyikan dengan dipukul.
Alat musik ini memiliki bilah yang dibuat dari bahan bambu.
Larasnya slendro.
Permainannya menggunakan teknik dua tengan, dengan palu berbentuk huruf Y.
Usia perangkat gamelan gambang di Banjar Kesampal diperkirakan lebih dari 250 tahun.
Karawitan kuno ini coba dihidupkan kembali oleh masyarakat Kedampal yang tergabung dalam Sekaa Gambang Sekar Jepun.
Wayan Suwitra, koordinator sekaa menuturkan jika Gambang Banjar Kedampal mulai dibangkitkan kembali sejak 2015.
"Perangkat gamelan ini adalah milik keluarga. Terakhir dimainkan ketika zaman kakek saya. Sejak itu generasi pemain gambang sempat terputus. Hingga kami mendengar pewisik yang meminta agar gambang ini dimainkan kembali," tuturnya.
Proses revitalisasi pun didukung oleh pemerintah kabupaten dan masyarakat banjar.
Lamanya vakum membuat generasi yang sekarang harus mempelajari ulang seluk-beluk gambang.
Mereka mendatangkan guru dan membaca kembali lontar gending gambang yang diwariskan leluhur.
"Lontar inilah yang menjadi pedoman kami dalam belajar. Namun untuk mempelajari alat musik ini cukup sulit sebab beda jauh dengan jenis gamelan lain semisal angklung dan gong kebyar," tukasnya.
Saat ini mayoritas warga yang mempelajari gambang masih memiliki ikatan keluarga dengan Wayan Suwitra.
Di antaranya terdapat pula golongan anak muda.
Sesungguhnya mereka membuka diri bagi siapa pun yang ingin belajar.
Namun masyarakat setempat masih memiliki kepercayaan jika gamelan yang tergolong sakral ini hanya bisa dipelajari oleh mereka yang memiliki leluhur pemain gambang.
Jika di luar itu, maka akan sulit menemukan irama dan mempelajarinya.
"Gamelan Gambang Sekar Jepun ini dimainkan sebagai pengiring upacara ngaben. Suara gending dari gambang dipercaya menjadi pengantar roh orang meninggal menuju surga. Sekaa kami pun sering diminta untuk ngayah di acara pengabenan hingga di luar desa," ucap Wayan Suwitra.
Selusin Piring dan Gelas
Jumlah penduduk Banjar Kedampal adalah 615 kepala keluarga. Jumlah ini terhitung besar untuk sebuah banjar.
Dari segi wilayah, Banjar Kedampal memiliki empat tempekan yang masing-masing dipinpin oleh seorang sinom.
Empat tempekan itu adalah Likawa, Susuk, Labah, dan Tengah. Masyarakat Kedampal terhitung aktif dalam berorganisasi.
Di banjar itu terdapat beberapa perkumpulan, mulai gong kebyar anak-anak, hingga perkumpulan lansia.
Dari segi kemasyarakatan, Banjar Kedampal memiliki aturan yang unik.
Setiap ada warga yang menikah ke luar Desa Abiansemal Dauh Yeh Cani, baik laki-laki atau perempuan, dikenakan kewajiban untuk menyerahkan kenang-kenangan berupa selusin piring dan selusin gelas.
Kenang-kenangan ini diserahkan kepada kumpulan muda-mudi. Sedangkan kepada pihak banjar, mereka diminta menghaturkan uang sebesar Rp 150 ribu.
"Hal ini sudah kami terapkan sejak lama, diatur dalam awig-awig," ucap I Wayan Suandra, Kelihan Dinas Banjar Kedampal. (*)