Unik, Tradisi Nganten Massal di Desa Pengotan Bangli, Ada Mempelai dari Sulawesi
Jika pada sasih kapat terdapat halangan untuk pelaksanaan nikah massal, maka tradisi tersebut akan digelar pada sasih kedasa.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Desa Pengotan, Kabupaten Bangli, Bali memiliki tradisi nganten (nikah) massal yang diperkirakan sudah berlangsung sejak tiga abad lalu.
Tradisi ini tetap dilestarikan, dan kembali dilaksanakan pada Kamis (22/3/2018).
Dengan diantar oleh sanak saudara, satu demi satu pasangan pengantin memasuki Pura Penataran Agung Desa Pengotan, Kamis kemarin.
Di bagian jaba sisi pura ini, sebanyak 21 mempelai pengantin berbaris untuk menjalani rangkaian tradisi nganten massal.
Nganten massal ini merupakan salah satu tradisi yang telah ada sejak berdirinya Desa Pengotan, serta diwariskan secara turun temurun.
Hingga kini tradisi tersebut masih tetap dilestarikan.

“Diperkirakan sudah lebih dari tiga abad, sejak berdirinya Desa Pakraman Pengotan,” ujar Bendesa Adat Desa Pengotan, Jero Wayan Kopok, saat ditemui di sela-sela acara, kemarin.
Tradisi nganten massal digelar sekali dalam setahun.
Yakni antara sasih kapat atau sasih kedasa.
Jika pada sasih kapat terdapat halangan untuk pelaksanaan nikah massal, maka tradisi tersebut akan digelar pada sasih kedasa.
Begitu pula sebaliknya.
Ungkap Jero Kopok, tradisi ini juga sempat tertunda selama dua tahun, yakni pada tahun 2016 dan 2017.
Hal ini disebabkan renovasi Pura Penataran Agung Desa Pengotan, yang mana proses penggarapannya hingga akhir tahun 2017.
Pada tradisi nganten massal kali ini, lanjut dia, diikuti oleh sebanyak 21 mempelai pengantin.
Dari 21 mempelai pengantin, 15 di antaranya merupakan warga asli Desa Pengotan, sedangkan enam mempelai sisanya warga luar desa, yang ‘mengambil’ mempelai wanita asal Desa Pengotan.
“Ada yang dari Gianyar, Kintamani, bahkan hingga Sulawesi," kata Jero Kopok.
Apabila tidak melakukan upacara pernikahan masal, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah secara adat, dan jika dikemudian hari berlangsung upacara pujawali di Bale Agung, mereka tidak diperkenankan melakukan persembahyangan.
Tradisi nganten massal diawali dengan proses mekruna (meminang), yang dilakukan keluarga pria ke rumah keluarga wanita, pada tiga hari sebelumnya.
Prosesi dilanjutkan dengan menghaturkan basih kaputan, kepada jero peduluan dan prajuru adat sebagai pemberitahuan.
Pada hari H, prosesi diawali dengan sangkep nganten.
Dalam hal ini bendesa adat menyampaikan pada masyarakat (krama) terkait siapa-siapa saja yang mengikuti nganten massal.
Prosesi dilanjutkan dengan mempersiapkan sarana upacara, termasuk nampah (menyembelih) satu ekor sapi, yang dibeli dan dihaturkan secara urunan oleh 21 mempelai.
Masing-masing mempelai juga membawa nasi putih yang sudah matang, atau yang disebut sari kesrah sebanyak empat rontong.
“Seluruhnya akan dibuatkan kawas, dan dibagi-bagikan sesuai dengan jumlah krama desa pengarep, sebanyak 206 KK. Setelah semua persiapan selesai, barulah para mempelai dipanggil,” bebernya.
Para mempelai pengantin berbaris memasuki jaba sisi selatan Pura Penataran Agung, dan secara berjejeran, mempelai mengikuti prosesi panglukatan atau pembersihan diri.
Selanjutnya memasuki tahap berikutnya, yang berada areal jeroan pura.
Suami dan istri duduk secara terpisah di Bale Nganten.
Sang suami duduk di sebelah selatan, dan istrinya di utara.
Pada Bale Nganten ini, para mempelai makan sirih bersama atau yang disebut petemuan.
“Tujuan dari makan sirih adalah untuk mengingatkan (eling), pada para mempelai, bahwa mereka telah menginjak pada usia lebih tua, dan menjadi krama desa. Setelah itu mereka mapamit di Ulun Bale Agung, dan menunaikan damar kurung. Tujuannya untuk memohon doa restu bagi keluarga barunya, agar kehidupan rumah tangganya langgeng,” tutur Jero Kopok.
Prosesi terakhir tradisi nganten massal ditandai dengan mepamit di Sanggar Agung Gelagah, dan dilanjutkan dengan ke rumah masing-masing.
Pengantin baru ini selama tiga hari kedepan akan menjalani prosesi mabrata, yakni tidak diperkenankan melewati jalan adat.
Bila kediamannya berada di sebelah barat, maka pengantin tersebut tidak diperbolehkan melintasi rumah yang berada di sebelah timur.
Begitupula dengan sebaliknya.
Setelah tiga hari, barulah dari purusa ke pradana membawa tipat bantal, sebagai tanda berakhirnya prosesi tradisi nganten masal.
“Setelah prosesi selesai, pihak wanita selanjutnya ikut di kediaman suami,” ujarnya.
Wajib Persetujuan Istri
Tujuan dari nganten massal ini adalah untuk meringankan beban masyarakat saat melangsungkan upacara pernikahan.
Selain pada sasih kapat dan sasih kadasa, tidak ada masyarakat yang melangsungkan pernikahan.
Bagi masyarakat yang diketahui sering gradag-grudug di rumah seseorang, hingga menyebabkan hamil di luar nikah, maka dia akan dikenakan sanksi adat kesipat, yakni dengan membayar denda sebanyak Rp 50 ribu per bulan hingga dilangsungkan pernikahan massal.
“Umpamanya sudah hamil di luar nikah, dan baru digelar nikah massal pada 10 bulan berikutnya, maka selama 10 bulan tersebut, dia wajib membayar sanksi adat ber bulan,” sebutnya.
Nganten massal kebanyakan diikuti oleh mereka yang baru menjalani kehidupan rumah tangga baru, serta bagi masyarakat yang telah bercerai pada pernikahan sebelumnya.
Namun demikian, bagi masyarakat yang masih berkeluarga, terdapat sebuah persyaratan khusus bilamana hendak mengikuti nganten masal.
“Mereka harus mendapat izin dari istri pertama, yang dibuktikan dengan surat keterangan. Biasanya, izin diberikan untuk mencari pewaris (anak laki-laki), ataupun disebabkan dalam pernikahan tidak memiliki anak sama sekali,” jelasnya.
Persyaratan ini wajib dijalani oleh seluruh masyarakat.
Sebab sesuai awig-awig di Desa Pengotan, bagi mereka yang melanggar akan mendapat sanksi yang disebut Keni Pengingun Banjar. (*)