Simpang Ring Banjar
Pura Sang Hyang Celeng, Tempat Raja Buleleng Memohon Kekuatan
Tempat Raja Buleleng Memohon Kekuatan Pura Sang Hyang Celeng Dibangun Sejak Zaman Pra Hindu
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Siapa sangka di Desa Menyali, Kecamatan Sawan, terdapat pura yang sungguh unik.
Namanya Pura Sang Hyang Celeng.
Di pura ini ditemukan sebuah patung Celeng (Babi) yang merupakan simbol Waraha sebagai manifestasi Dewa Wisnu.
Patung ini berdiri di bawah patung Lingga Yoni simbol Siwa.
Secara administratif, Pura Sang Hyang Celeng terletak di Banjar Kangin Teben, Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan.
Namun, yang menyungsung Pura Sang Hyang Celeng bukanlah dari masyarakat Jagaraga, melainkan masyarakat dari Desa Menyali.
Lokasi pura terletak di sebuah gang sempit, jaraknya hanya 50 meter dari ruas jalan Jagaraga-Menyali.
Pura Sang Hyang Celeng mengusung konsep Eka Mandala.
Artinya hanya satu areal saja tanpa memiliki jaba dan madya mandala.
Jika dilihat secara seksama, pura yang luasnya tak lebih dari 15 meter persegi ini hanya memiliki satu pelinggih utama yakni patung Babi (waraha, Red) yang di depan kepalanya terdapat Lingga Yoni.
Patung Babi tersebut dibungkus dengan kain poleng.
Bentuk patung itu terlihat seperti tengah menyeruduk Lingga Yoni.
Menurut Jro Mangku Made Werdi, dulu wilayah Desa Menyali sangatlah luas.
Bahkan hingga melingkupi Desa Jagaraga dan Giri Emas.
Namun luas wilayahnya menyusut, hingga wilayah Desa Jagaraga dan Giri Emas memilih berdiri sendiri.
Meski demikian, Pura Sang Hyang Celeng statusnya masih diempon oleh Desa Menyali.
“Pura ini sudah ada sejak zaman Pra Hindu. Angka tahunnya tidak dipastikan, bahkan sudah ada sejak zaman perang melawan penjajah” ujar Mangku Werdi saat ditemui di rumahnya, di Dusun Kangingan, Desa Menyali.
Diceritakan Mangku Werdhi, pura ini tak bisa dilepaskan dari Sosok Dewa Wisnu, dalam manifestasinya sebagai Waraha (Babi, Red).
Pura ini berdekatan dengan Pura Puseh.
Pemangku pengemponnya pun jadi satu dengan Pura Puseh.
Memang tidak ada bukti atau catatan sejarah terkait Pura Sang Hyang Celeng ini.
Tetapi, jika merujuk dari cerita para pendahulunya, diyakini memiliki kekuatan gaib, berupa Patung Waraha (Babi) yang bersenjatakan Cakra Sudarsana, salah satu simbul awatara Wisnu.
Patung Waraha atau yang identik dengan Varaha Awatara merupakan Awatara Dewa Wisnu yang ketiga, yang digambar dalam wujud seekor babi yang keluar dari hidung Dewa Brahma.
Selanjutnya dalam kisahnya Waraha Awatara membawa bumi dengan kedua taringnya bersenjatakan gada mengangkat bumi yang tenggelam di samudra alam semesta bernama Garbhodaka.
“Desa kami kan menyungsung Dewa Wisnu. Makanya Pura Sang Hyang Celeng berdampingan dengan Pura Puseh. Posisi waraha seolah menyeruduk patung Lingga Yoni itu diibaratkan seperti menyelamatkan bumi dari berbagai kezaliman. Kami berharap Desa Menyali itu selalu diberikan kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan,” bebernya.
Berbagai cerita unik pun berkaitan dengan keberadaan Pura Sang Hyang Celeng ini.
Konon katanya, Anak Agung Jelantik yang merupakan Raja Buleleng, pada zaman Perang Puputan Jagaraga pada tahun 1829-an, sering bermeditasi dan memohon kekuatan di tempat ini sehingga selalu sukses memukul mundur Belanda.
Belanda pun dibuat jengkel lantaran sulitnya menangkap Anak Agung Jelantik pada perang itu.
Bahkan dari mata-mata yang disebar Belanda, Raja Anak Agung Patih Jelantik disinyalir mendapatkan kekuatan di pura ini.
Tanpa pikir panjang, Belanda langsung memotong Patung Waraha atau Babi ini.
Tak hanya memotong kepala Babi.
Belanda juga menghancurkan patung Lingga Yoni.
Selanjutnya patung tersebut dikubur di areal Pura Sang Hyang Celeng.
“Lalu, penggalan patung kepala babi itulah yang konon dibuang di salah satu Masjid di Singaraja. Tujuannya adalah untuk mengadu domba antara umat Islam dengan Umat Hindu di Singaraja agar dukungan terhadap Anak Agung Patih Jelantik bisa terpecah belah dalam melawan Belanda,” tuturnya.
Sejak dipotong oleh pasukan Belanda, patung Babi tersebut tidak memiliki kepala.
Sekitar tahun 1996 barulah dilakukan pemugaran.
Proses pemugaran dilakukan dengan membuat kembali patung Babi atau Waraha.
Sedangkan, Lingga Yoni tersebut ditemukan oleh masyarakat saat melakukan pemugaran.
“Nah setelah pemugaran selesai dilakukan, barulah diadakan upacara melaspas. Hingga kini pura tersebut masih kokoh berdiri,” imbuhnya.
Menariknya, Pura Sang Hyang Celeng ini juga sangat erat kaitannya dengan Tumpek Uye.
Krama Menyali melakukan persembahan sesajen saat hari raya Tumpek Kandang (Tumpek Uye, Red).
Tujuannya untuk memohon tirta yang nantinya dipercikkan kepada hewan peliharaan, seperti babi, sapi, unggas dan hewan peliharaan lainnya.
“Tujuannya agar hewan piaraannya sehat dan bisa menghasilkan,” terangnya. (*)