Liputan Khusus
Angka Perceraian di Bali Mengkhawatirkan, Pekerjaan Ini Paling Berisiko Tinggi Rentan Perceraian
Angka perceraian di ibukota Provinsi Bali, yakni Denpasar, terbilang cukup tinggi.
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
Anggreni yang juga Ketua Harian di P2TP2A Denpasar mengungkapkan, dari banyak kasus kenakalan anak dan remaja, baik yang terlibat kasus hukum, narkoba dan jenis kejahatan lainnya, ujung-ujungnya mereka mengaku ayah-ibunya tidak harmonis.
Kebanyakan anak dan remaja bermasalah itu dari keluarga broken home alias berantakan.
“Kami banyak menangani kasus anak di P2TP2A. Ketika kami wawancarai para klien dan menggali latar belakangnya lebih jauh, ujung-ujungnya pasti karena orangtuanya bercerai. Jadi, karena persoalan orangtua, anak jadi korban. Ya broken home. Jadi kami melihat itu kaitan antara perceraian dan kasus kenakalan anak-anak itu sangat terkait erat,” ungkap Anggreni.
Angka perceraian di ibukota Provinsi Bali, yakni Denpasar, terbilang cukup tinggi. Yakni, rata-rata terdapat dua perceraian dalam sehari di Denpasar dalam tiga tahun terakhir hingga 2017.
LBH APIK meyakini, jumlah perceraian yang tercatat secara resmi di lembaga pemerintah (seperti Disdukcapil dan Pengadilan Agama) belum mewakili jumlah perceraian yang riil di lapangan, yang dipastikan lebih tinggi.
Sebab, menurut data LBH APIK Bali, tidak sedikit perceraian di Bali yang tidak diproses melalui jalur resmi.
Menurut Nilawati, berdasarkan pengalaman LBH APIK Bali dalam menangani kasus rumah tangga, perceraian yang tidak terdata terjadi karena pasangan suami-istri yang cerai memang enggan untuk mengurus administrasi perceraian mereka.
Warga Bali khususnya di pedesaan, kata Nilawati, menganggap perceraian secara adat sudah cukup.(*)