Simpang Ring Banjar

Wujud Krama Sala Sucikan Diri, Tradisi Mesiram Toya Daha Lan Magoba-Gobagan

Ada cara unik yang dilakukan krama Desa Pakraman Sala dalam menyambut hari Raya Galungan

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
Suasana Penglukatan tirta pecampuhan, Pura taman pecampuhan, Desa Pakraman Sala, Abuan, Susut. 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Ada cara unik yang dilakukan krama Desa Pakraman Sala dalam menyambut hari Raya Galungan.

Melalui sebuah tradisi, ratusan krama Desa Pakraman Sala dari segala umur berkumpul di areal pecapuhan (pertemuan dua sungai) sejak pukul 05.00 Wita, untuk mandi bersama-sama.

Oleh warga sekitar, tradisi ini disebut mesiram toya daha lan magoba-gobagan.

Bendesa Adat Desa Pakraman Sala, I Ketut Kayana Jumat (1/6/2018) mengungkapkan, jika tradisi tersebut merupakan warisan nenek moyang, sejak ratusan tahun silam.

Hingga kini, masih tetap dilestarikan oleh krama Desa Pakraman, yang secara kedinasan masuk dalam wilayah Desa Abuan, Susut.

Lanjut Kayana, makna tradisi mesiram toya daha, yakni untuk mensucikan diri melalui air utama (Toya daha).

Artinya, air yang belum digunakan siapapun untuk mandi.

Secara garis besar, masyarakat sekitar percaya mandi dengan toya daha, dapat membersihkan diri dari energi-energi negatif yang ada dalam diri (dasamala).

Seperti iri hati, loba, dengki, fitnah, dan sebagainya.

Tradisi mesiram toya daha dilakukan seluruh krama Desa Pakraman Sala dalam menyambut Hari Raya Galungan.

Tingginya animo krama untuk mendapatkan toya daha, membuat pihak desa menerapkan aturan agar seluruh krama mendapat bagian.

Kayana memaparkan, sebelum tradisi digelar, mula-mula dilakukan ritual persembahyangan.

Fungsinya adalah meminta restu dari dewa-dewa yang berstana di wilayah tersebut, agar air yang nantinya digunakan mesiram mendapat berkah, sehingga mampu menghilangkan dasamala pada masing-masing krama.

Setelah prosesi mesiram toya daha, dilanjutkan dengan prosesi Magoba-gobagan, yang dilakukan oleh truna-truni.

Krama truna-truni dipisah dalam dua bagian (dipisahkan) antara krama lanang (pria) dan istri (wanita).

Tradisi ini dimulai dengan lempar bunga, kemudian dilanjutkan dengan saling melempar/menyiram air menggunakan batok kelapa yang telah dibawa masing-masing krama.

Kata Kayana, sama dengan Mesiram Toya, tradisi magoba-gobagan juga bermakna untuk saling menebarkan kebaikan melalui perilaku, maupun tutur kata.

“Dipilihnya para remaja, karena dalam tradisi magoba-gobagan ini ada unsur suka cita. Terlebih di era saat ini, meski semakin canggih dan komunikasi semakin mudah, untuk saling berkomunikasi justru tergolong kurang. Sehingga dengan tradisi ini, diharapkan mampu memupuk kembali rasa solidaritas dan silaturahmi di antara truna-truni,” jelasnya.

Satelah seluruh prosesi selesai, sambung Kayana, sebanyak 108 wanita yang berasal dari KK arepan pulang kerumah masing-masing, untuk mengambil sebuah periuk (jun).

Dalam periuk tersebut nantinya diisi air yang disebut toya anyar, berasal dari mata air Tirta Utama, Pura Taman Pecampuhan.

“Toya anyar ini digunakan sebagai tirta dalam persembahyangan dipekarangan masing-masing. Tirta ini juga bisa digunakan untuk membasuh wajah, maupun minum bagi krama yang berhalangan hadir lantaran sakit,” ucapnya.

“Hubungan antara kedua tradisi tersebut adalah untuk mensucikan diri sebelum kontak dengan Tuhan yang Maha Suci. Tanpa dilandasi dengan penyucian diri, maka makna dari hari Raya Galungan akan sia-sia,” tuturnya.

Melukat Tanpa Larangan bagi yang Berhalangan

Berbeda dengan penglukatan lain, melukat di Pengelukatan Tirta Pecampuhan, Pura Taman Pecampuhan Desa Pakraman Sala, justru tidak dibatasi apapun, seperti datang bulan, maupun cuntaka.

Bendesa Adat Desa Pakraman Sala, I Ketut Kayana mengatakan, walaupun tidak ada larangan, bukan berarti tidak ada batasan.

Bagi yang tengah berhalangan, pemedek yang hendak melukat hanya diperkenankan sampai pada tirta bulakan dan tirta taman saja.

Prosesi melukat, lanjut Kayana, khususnya bagi pemedek yang tidak berhalangan, dimulai dari matur piuning, memohon restu pada Tuhan, agar prosesi pengelukatan berjalan lancar, serta diberikan restu oleh Tuhan.

Selanjutnya dilanjutkan dengan prosesi mesiram di pecampuhan, yang mirip dengan pertigaan jalan.

"Pecampuhan ini diyakini sebagai sebuah tempat yang sangat suci, karena pertemuan dari dua buah sungai. Diyakini pula, pada pecampuhan tersebut sebagai tempat berkumpulnya para dewa atau yang biasa disebut 'dewa prayag'," terangnya.

Setelah mesiram di pecampuhan, pemedek lanjut ke pesiraman dedari.

Dimana tempat ini terdapat sebuah air terjun (grojogan) yang indah. Kata Kayana, sebagaimana dedari (bidadari), secara simbolis digambarkan memiliki pribadi yang indah.

Sebab itulah dengan mesiram di tempat ini, diharapkan para pemedek tidak hanya diberkahi fisik yang indah (cantik), namun juga pikiran, serta hati yang indah. 

Pasraman Tan Hana

Usai melukat di Pesiraman Dedari, oleh petugas, pemedek diarahkan menuju sisi sebelah kiri, yang disebut Pasraman Tan Hana.

Ujar Kayana, arti pasraman sendiri merujuk pada sebuah tempat untuk melakukan kegiatan keagamaan.

Sementara Tan Hana, merupakan perkampungan yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang tertentu.

Prosesi di Pasraman Tan Hana, pemedek akan diarahkan masuk ke sebuah goa, hingga menemukan tempat pemujaan dengan patung Dewi Saraswati, serta sebuah air terjun.

Dengan melukat ditempat ini, diharapkan Ida Sang Hyang Widi Wasa menganugerahkan kemampuan spiritual serta pengetahuan agar mampu dimanfaatkan dalam kehidupan.

Tidak ada jangka waktu tertentu bagi pemedek yang hendak melukat di tempat ini.

Sebab menurutnya, sejumlah pemedek ada yang menyukai pengelukatan saat ramai, dan ada pula pemedek yang menyukai suasana sepi.

"Kembali pada pertimbangan masing-masing pemedek. Mungkin yang suka suasana sepi agar pemedek lebih khusyuk saat melukat," tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved