Bali Paradise
Jejak Sejarah di Air Terjun Blangsinga, dari Dhang Hyang Nirartha hingga Patih Kebo Iwa
Objek wisata air terjun Blangsinga di Banjar Blangsinga, Desa Saba, Blahbatuh, sudah menjadi bagian penting dari kunjungan wisatawan di Gianyar
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Meski baru dibuka sejak empat tahun ini, dan masih proses pengembangan.
Namun objek wisata air terjun Blangsinga di Banjar Blangsinga, Desa Saba, Blahbatuh, sudah menjadi bagian penting dari kunjungan wisatawan di Gianyar.
Berdasarkan catatan pengelola, wisatawan yang datang tiap harinya mencapai 200 orang.
Meskipun sedang diganderungi wisatawan, pihak pengelola tak banyak mencari keuntungan.
Tiket masuk per orang, baik itu wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik dikenakan tarif sama, yakni Rp 10 ribu.
Sementara wisatawan yang berusia tujuh tahun ke bawah bahkan digratiskan.
Tak hanya itu, setiap wisatawan juga bisa meminta jasa pemandu saat menjelajahi objek yang merupakan bagian dari aliran sungai bersejarah, Sungai Petanu ini.
Untuk jasa pemandu wisatawan tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun.
Wakil Pengelola Blangsinga Waterfaall, I Ketut Sudarpa, Rabu (20/6/2018) mengatakan, ikon objek wisata ini memang air terjunnya.
Berdasarkan sejarah Bali, konon air terjun tersebut merupakan pemandian Patih Kebo Iwa, yang merupakan panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke-14.
Namun di balik air terjun ini, juga terdapat sejumlah peninggalan sejarah penyebaran Hindu di Bali.
Seperti diketahui bersama, Dhang Hyang Nirartha dalam menyebarkan agama Hindu di Bali menggunakan akses Sungai Petanu.
Dalam suatu momen, tepatnya di barat Banjar Blangsinga, Dhang Hyang Nirartha pernah melakukan tapa semedi.
Hingga saat ini jejak tersebut masih diabadikan melalui palinggih Pura Musen.
“Selain air terjun dan pemandangan, kami juga menyajikan wisata sejarah Bali. Dalam waktu dekat, itu akan bisa dijelajahi menggunakan kayak. Tidak menggunakan perahu karet, karena medannya tidak mendukung. Di tengah-tengah sungai banyak batu besarnya,” ujar Sudarpa.