Simpang Ring Banjar
Warga Kerap Melukat di Pura Tirta Sudhamala, Konon Tukad Jadi Tempat Pembuangan Mayat Saat Perang
Pura yang terletak di Desa Pakraman Banyuasri ini sering didatangi oleh masyarakat untuk melakukan ritual pelukatan
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Pura Tirta Sudhamala termasuk pura yang cukup terkenal di Buleleng.
Pura yang terletak di Desa Pakraman Banyuasri ini sering didatangi oleh masyarakat untuk melakukan ritual pelukatan.
Warga yang datang biasanya memohon agar diberi jodoh, kesehatan, keselamatan, dan dilancarkan segala aktivitasnya.
Bahkan tidak jarang para pejabat juga sering datang untuk memohon agar diberi jabatan.
Pura Tirta Sudhamala erat kaitannya dengan kisah sejarah dari Desa Pakraman Banyuasri.
Dulu, desa ini disebut dengan Desa Banyumala.
Kelian Desa Pakraman Banyuasri, Nyoman Westha menuturkan pada abad ke 13, terdapat seorang pria bernama Dewa Bagus Manik, putra dari Ki Pungakan Kendis, seorang penguasa di daerah Panji yang sangat ditakuti oleh rakyat.
Pada abad ke 13 itu, konon Dewa Bagus Manik diusir oleh sang ayah karena suka main judi dan metajen (sabung ayam).
Bagus Manik pun lantas pergi ke arah barat atau lebih tepatnya ke Pura Subak Banyumala.
Di Pura Subak itu berstana Ida Bagus Manik Banyumala dengan disusung oleh 16 kepala keluarga.
Bagus Manik pun mencoba untuk tinggal di sana, berbaur dengan masyarakat sekitar.
Di mata masyarakat, Bagus Manik rupanya memiliki sebuah kewibawaan.
Ia lantas diangkat menjadi tokoh di wilayah tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Bagus Manik bersama dengan 16 kepala keluarga itu kemudian memutuskan untuk membangun sebuah Pura Desa, bersebelahan dengan Pura Subak Banyumala.
Pura Desa tersebut juga berada di sebelah barat sungai besar, yang kini dikenal dengan Tukad Banyumala.
Dengan berdirinya Pura Desa tersebut, terbentuklah Desa Banyumala, yang di mana urusan administrasinya dijadikan satu dengan kerajaan Buleleng yang sekarang dikenal dengan Desa Pakraman Buleleng.
Masih pada abad ke 13, sebut Nyoman Westha, Tukad Banyumala dengan panjang sekitar 3 kilometer tersebut, konon pernah dijadikan sebagai lokasi pembuangan mayat saat perang antar kerajaan Buleleng.
Saat itu, lokasi perang disepakati dilakukan di Desa Bangkang.
Apabila dalam pertempuran terdapat korban yang meninggal dunia, maka mayatnya akan di buang ke Tukad Banyumala.
Hal ini lantas membuat sungai menjadi tercemar.
Masyarakat yang menggunakan sungai itu untuk keperluan sehari-hari serta memberi minum hewan ternaknya menjadi sakit.
Ada 16 kepala keluarga yang lantas memohon secara niskala agar air di tukad tersebut tidak tercemar lagi.
Saat memohon itu lah, konon terdengar suara ledakan yang sangat keras.
Penasaran, masyarakat pun mencoba mencari sumber ledakan tersebut.
Terang saja, saat sumber ledakan ditemukan, terdapat semburan air yang sangat keras keluar dari dalam tanah.
Air itu dianggap oleh warga sekitar sebagai air suci.
Sehingga masyarakat pun membangun sebuah pura di sumber ledakan tersebut yang kini dikenal dengan nama Pura Tirta Sudhamala, agar masyarakat setempat dapat melakukan ritual pelukatan.
"Saat masyarakat menemukan sumber ledakan tersebut terjadilah orang kesurupan. Ada bisikan, diperintahkan masyakarat agar air yang dianggap suci itu dibawa dan ditebarkan di hulu sungai. Saat itulah air tidak beracun lagi," tutur
Nyoman Westha didampingi prajuru Desa Pakraman Banyuasri.
Memasuki abad ke 16, di mana saat itu Buleleng sudah dipimpin oleh seorang raja bernama I Gusti Ngurah Panji Sakti, masyarakat di Desa Banyumala tiba-tiba ditimpa masalah dalam hal melakukan upacara pemakaman.
16 KK yang dulu pertama kali tinggal di wilayah tersebut, jika hendak melakukan pemakaman, harus menyeberangi bantaran sungai (tukad) Banyumala.
Sebab, setra (kuburan) dulu hanya ada di wilayah timur yang kini disebut dengan Setra Buleleng.
Nah saat hendak melakukan pemakaman itu, air di Tukad Banyumala tiba-tiba naik.
Sehingga masyarakat kesulitan untuk menyeberangi sungai tersebut.
Hal hasil mayat dibiarkan hingga mengeluarkan aroma yang tidak sedap.
Akhirnya Dewa Bagus Manik memohon kepada Raja Buleleng agar masyarakat dapat tinggal di wilayah timur dari bantaran sungai tersebut.
"Akhirnya raja mengizinkan masyarakat Desa Banyumala untuk tinggal di sebelah timur sungai. Mereka tidak perlu lagi repot-repot menyeberangi sungai jika ada upacara pemakaman," ungkap Nyoman Westha.
Berjalannya waktu atau lebih tepatnya pada tahun 1970, nama Desa Banyumala akhirnya diubah.
Masyarakat mendapatkan pewisik agar nama Desa Banyumala diubah menjadi Desa Banyuasri.
"Banyu itu artinya air. Sedangkan Mala itu artinya kotor. Nama itu kemudian diubah menjadi Banyuasri yang artinya air bersih. Harapannya agar wilayah desa ini menjadi bersih, asri, dan indah," jelasnya.
Gelar Tradisi Megibung
Tradisi Megibung atau makan bersama selalu dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Pakraman Banyuasri.
Kegiatan ini dilaksanalan ketika odalan digelar di Pura Desa, Pura Dalem, dan Pura Segara.
Masyarakat bersama para penglingsir di Desa tersebut, duduk bersama-sama menikmati hidangan makanan yang disediakan, di atas daun pisang tanpa sekat.
Makanan yang disajikan pun sebelumnya dimasak oleh krama secara bersama-sama.
Hal ini dilakukan untuk menyatukan rasa menyame braya.
Di samping itu, melakukan tradisi megibung dinilai oleh krama di Desa Pakraman Banyuasri sebagai bentuk rasa syukur terdahap Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan rezeki.
"Setiap odalan kami selalu menggelar tradisi megibung itu. Lokasinya ya di pura. Itu tradisi yang tidak bisa kami lupakan. Di samping untuk upacara, sisa makanannya kami santap bersama-sama sebagai rasa mensyukuri pemberian dari Tuhan, dengan bentuk masak bersama dan makan bersama. Itu rezeki namanya," ujar Klian Desa Pakraman Banyuasri Nyoman Westha.
Sanksi Adat Bagi Pengguna Narkoba
Penjuru adat Desa Pakraman Banyuasri telah membentuk perarem atau sanksi adat bagi krama yang terlibat penyalahgunaan narkoba.
Sanksi ini baru dibentuk sekitar sebulan yang lalu.
Bagi krama yang terbukti mengonsumsi atau menjual narkoba, akan dikenakan denda Rp 12 juta, serta harus memohon maaf di Khayangan Tiga.
Sanksi adat ini dibuat karena narkoba dinilai dapat merusak tatanan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Konsep Tri Hita Karana, yakni hubungan manusia dengan pencipta, hubungan manusia dengan manusia, serta hubungan manusia dengan alam sekitar akan rusak dicemari oleh narkoba.
"Sebab pilar di desa adat itu adalah masyarakatnya sendiri. Kemudian bila masyarakatnya dicemari dengan unsur narkotika, siapa nanti yang ngajegang desa adat. Jadi kalau dibiarkan ya hancur desa ini," kata Nyoman Westha.
Sejauh ini, Nyoman Westha mengaku belum ada krama yang terkena sanksi adat narkoba tersebut.
"Kalau ketahuan, ya harus berurusan dengan polisi dan harus berurusan dengan perarem desa adat," tutupnya.(*)