Simpang Ring Banjar
Cerita Empat Kuburan Seluas Dua Hektare, Tampuk Kepemimpinan Dipegang Jero Kubayan
Pada umumnya, kuburan desa atau kerap disebut setra adat di masing-masing desa pakraman hanya terdapat satu setra
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Pada umumnya, kuburan desa atau kerap disebut setra adat di masing-masing desa pakraman hanya terdapat satu setra.
Hal ini berbeda dengan setra di wilayah Desa Pakraman Songan, Kintamani, di mana terdapat empat kuburan dengan total luas keseluruhan mencapai dua hektare lebih.
Bendesa Pakraman Songan, Jero Temu didampingi warga sekitar bernama Jero Mangku Edi mengatakan, prosesi pemakaman di wilayah Desa Pakraman Songan terbilang berbeda.
Sebab wilayah ini menganut sistem Uluapat yang artinya kepemimpinan tertinggi berada di bawah seorang Jero Kabayan.
Berdasarkan sistem tersebut pula, prosesi pemakaman dilakukan secara mabia tanem dan mabia tunjel, yakni prosesi menanam jenazah terlebih dahulu baru membakar jenazahnya untuk mencapai nirwana.
Sementara terkait dengan setra, Jero Temu menyebutkan bahwa di wilayah Desa Pakraman Songan, terdapat empat setra (sema), yakni Sema Pekingsan atau Sema Bangsil, Sema Gede (Sibakan kebot, sibakan kenawan), Sema Cerik dan Sema Gelgel.
Keseluruhan sema tersebut memiliki fungsi yang berbeda satu dengan lainnya.
Seperti sema Pekingsan atau sema Bangsil, jelas Jero Temu, diperuntukan bagi masyarakat yang meninggal tidak wajar, atau yang kerap disebut Salah Pati, Ulah Pati, Alih Pati, maupun Darma Pati.
Salah Pati, yakni seseorang yang berbuat kesalahan hingga menyebabkan dirinya meninggal.
Ulah Pati, yakni meninggal karena ulahnya sendiri.
“Sedangkan Alih Pati, yakni meninggal yang disebabkan oleh kesadaran diri atau sengaja mencari kematian. Seperti gantung diri, minum racun, termasuk dengan terkena bencana. Sementara Darma Pati, adalah orang-orang yang meninggal karena tidak disengaja, ketika melakukan sebuah tugas khusus,” jelasnya.
Lanjutnya, disebut Setra Bangsil karena menurut sejarah, istilah bangsil dahulunya kerap digunakan bagi orang-orang yang memiliki kelainan seperti perut membesar.
Saat meninggal, penyakit tersebut dikhawatirkan dapat mewabah pada masyarakat sekitar.
Sebab itu, penguburan akhirnya dipisahkan, serta kuburan disebut sema Bangsil.
Selain sema Bangsil, Jero Temu juga menyebutkan bahwa terdapat kuburan khusus bagi anak-anak, yang disebut sema cerik.
Kuburan ini dikhususkan bagi jenazah orok, bayi, maupun anak-anak yang belum meketus (lepas) gigi pertamanya.
Bilamana gigi pertama tersebut sudah pernah lepas, penguburan akan dilakukan di Sema Gede.
Ada perbedaan prosesi upacara terhadap pemakaman di sema Cerik ini.
Kata Jero Temu, jika yang dikuburkan adalah orok berusia 0 hingga dibawah 3 bulan kandungan, prosesi yang dilakukan disebut ngeruron.
Sementara bagi bayi berusia tiga bulan kandungan hingga yang baru putus tali pusar (mekepus pungset) proses pemakaman yang dilakukan yakni ngelungah.
“Sedangkan bagi jenazah bayi yang telah berusia tiga bulan hingga keluar gigi, nama prosesnya disebut penyambit. Jika di wilayah lain untuk kematian bayi ada prosesi nongosin selama tiga hari, di sini setelah dikuburkan ya sudah, tinggal nunggu proses ngaben massal saja,” ungkapnya.
Lain halnya dengan sema Bangsil maupun sema Cerik.
Pada Sema Gede dibagi menjadi beberapa tingkatan.
Seperti tingkat teratas yakni diperuntukkan bagi orang-orang yang disucikan, atau oleh warga sekitar disebut Jero Putus.
Tingkatan tengah diperuntukkan bagi orang-orang dewasa, sedangkan tingkatan bawah, yakni bagi para anak-anak dan remaja.
Selain itu, di Sema Gede juga dibagi menjadi sibakan kewanan dan sibakan kebot.
Kata Jero Temu, sejatinya tidak ada perbedaan mendasar antar keduanya, karena masih dalam satu wilayah.
Faktor yang mendasari bagian mana seseorang dikebumikan adalah dari leluhur.
“Artinya jika dari leluhurnya dimakamkan di sebakan kebot, secara turun temurun dia akan dikebumikan di sana. Begitupun dengan sibakan kewanan,” ujarnya.
Masih di Sema Gede, terdapat bentuk kuburan yang mirip seperti di Desa Terunyan, di mana pada kuburan tidak ditutup dengan tanah, serta di bagian atas diberi pengaman berupa anyaman bambu kuning.
Kata salah seorang warga Banjar Dalem, Desa Songan, Jero Mangku Edi, prosesi ini disebut Meancak Saji.
Namun yang membedakan, jika model penguburan dengan prosesi meancak saji di Desa Terunyan bagi seluruh warga, di Desa Songan prosesi tersebut dikhususkan bagi orang-orang yang telah disucikan atau disebut Jero Putus.
“Mengapa tidak dikuburkan seperti lainnya? Karena jero putus itu sudah dianggap suci. Artinya kepala beliau tidak diperkenankan terkena tanah. Sebab itu prosesi penguburan hanya ditutup dengan ancak saji saja,” ungkapnya.
Selain itu di wilayah ini juga terdapat Sema Gelgel.
Sema ini dikhususkan bagi warga klan Gelgel, yang bukan merupakan keturunan asli atau pendatang.
Prosesi penguburan bagi klan Gelgel pun juga berbeda dengan tiga sema lainnya.
“Prosesi pemakaman bagi klan Gelgel tidak sama dengan masyarakat asli Songan. Mereka menjalankan prosesi pemakanan sama dengan warga Bali lain, yakni langsung diaben,” ujar Jero Mangku Edi.
Gelar Jero dari Sakit Tak Sembuh
Di wilayah Desa Songan, Kintamani yang mayoritas penduduknya sebagai petani hortikultura juga memiliki gelar ‘jero’ yang tidak hanya disematkan bagi orang-orang dewasa, namun juga anak-anak.
Bendesa Pakraman Songan, Jero Temu mengatakan, sesuai sastranya, Jero Mangku dibagi menjadi dua kelompok.
Pertama Jero Mangku Kesudi, yang artinya ditunjuk langsung oleh krama.
Dan Jero Tapakan Widi, yang prosesinya melalui ngerauhang.
“Yang banyak Jero Tapakan Widi, yang nantinya menjadi Jero Dasaran. Kebanyakan diawali petunjuk berupa sakit yang tak kunjung sembuh, meski telah melakukan pengobatan kemanapun,” ujarnya.
Ia mencontohkan seperti keponakannya yang saat umur tujuh tahun memiliki benjolan di perut.
Salah seorang keluarganya yang merupakan kalangan akademisi menyarankan untuk operasi.
Namun tak lama usai menjalani operasi, benjolan serupa kembali tumbuh, bahkan dinyatakan kanker darah.
“Jangka waktunya tak kurang dalam waktu sepekan. Bagaimana akan dioperasi lagi? Akhirnya saya ajak pulang, untuk nunas baos ke balian. Akhirnya dibuatkan upacara prosesi pewintenan, dan besoknya dibawa berobat ke Denpasar, sudah normal. Itulah yang kebanyakan terjadi di Songan sehingga mandarah daging dan dipercaya masyarakat sekitar,” jelasnya.
Jero Temu juga mengungkapkan, setelah diwinten, sesorang tersebut akan menjadi jero tapakan.
Jelas, setelah menjadi jero, ada pantangan yang tidak boleh dilanggar.
Seperti tidak boleh makan daging babi (khususnya), dan sapi (umumnya).
“Pantangan ini ada karena mereka sudah diwinten, dan dianggap suci sehingga tidak diperkenankan melepas hal-hal yang dianggap suci. Seperti daging babi karena dianggap kotor,” ucapnya. (*)