Liputan Khusus

Tiap Bulan Setor ke Mami, Kisah Dunia Remang-remang Waria Denpasar  

Bagi kalangan waria di Denpasar dan sekitarnya yang biasa menjajakan diri, mereka memiliki semacam aturan tersendiri

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Irma Budiarti
info grafis/ilustrasi: Tribun Bali/Dwi Suputra

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bagi kalangan waria di Denpasar dan sekitarnya yang biasa menjajakan diri, mereka memiliki semacam aturan tersendiri.

Mereka yang biasa mangkal di tempat tertentu, tidak boleh ikut mangkal dan mengambil pelanggan di tempat lain.

Di wilayah Lumintang (Denpasar), misalnya, saat ini hanya Mawar dan satu kawannya yang hanya mangkal sesekali, karena si kawan juga menggeluti aktivitas lain sebagai pedagang nasi.

Selain mereka, tidak boleh ada yang masuk.

Begitu pula sebaliknya, Mawar dan kawannya yang biasa di Lumintang tidak boleh mangkal di tempat lain, kecuali jika hanya ingin sekadar melancong.   

“Kami tidak menerima orang baru lagi. Kita juga jaga-jaga, enggak semua orang pikirannya sama. Siapa tahu dia punya kasus, nanti semua kena. Kayak yang di Kuta itu kan, warianya curi duit bule, akhirnya sekarang sama sekali gak dikasi mangkal di sana, dibubarin,” terang Mawar saat ditemui Tribun Bali pekan lalu.  

Selama praktik di Lumintang, Mawar mengatakan tidak harus membayar sejumlah uang kepada pihak tertentu.

“Kalau enggak salah, yang di Mahendradatta baru ada setor, Rp 30 ribu rasanya,” imbuh Mawar yang dulu pernah kerja di koperasi.

Namun demikian, sejumlah PSK waria di kawasan Jalan Bung Tomo, Denpasar, mengaku masing-masing harus menyetor duit ke preman.

Per hari, per orang dari mereka membayar Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu.

"Kalau hari biasa bayar Rp 30 ribu. Kalau malam minggu Rp 50 ribu. Kalau gak bayar, kami gak dikasi mangkal," ungkap RA, salah satu waria yang ditemui di kawasan Bung Tomo, pekan lalu.

Dia menceritakan, preman tak segan-segan mengusir waria yang tak mau membayar uang mangkal di kawasan tersebut.

Sekali mereka keluar dari kawasan itu, apabila mereka kembali ingin mangkal di sana, maka wajib membayar uang daftar Rp 500 ribu ke preman.

"Misalnya kalau pergi keluar harus bayar Rp 500 ribu, masuk juga bayar lagi seperti daftar," kata RA.

MA, waria lainnya di kawasan Jalan Bung Tomo juga mengakui hal yang sama.

Ia dipungut Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu tiap kali mangkal.

"Setiap mangkal kena Rp 30 ribu sampai Rp 50 ribu,” ungkap MA.

Sedangkan, untuk PSK waria di kawasan Renon, Denpasar, tak ada yang merasa ditarget bayar pungutan setiap berpraktik.

Namun, mereka wajib membayar iuran Rp 10 ribu per bulan ke mami.

"Bukan setoran, tapi memang kami ada iuran," kata CA, salah satu waria yang tiap hari mangkal di Jalan Tantular Renon, Denpasar.

Mawar, PSK waria yang biasa mangkal di kawasan Lumintang, Denpasar, mengatakan sudah hampir 9 tahun menjalani kehidupan dunia remang-remang.

Ia mengakui, memang ada rasa takut apabila nanti terjangkit penyakit tertentu.

Karena itu, dia selalu menggunakan pengaman dan mengecek kesehatannya secara reguler.

Pilihannya di jalan ini tentu penuh lika-liku.

Ia pernah dilempar batu oleh orang-orang tertentu yang jahil dan tidak menerima keberadaannya.

Diteriaki dengan kata-kata bencong, sudah menjadi makanan sehari-harinya dan dia lebih memilih untuk diam.

“Kecuali kalau ada yang sampai pegang fisik, beda lagi ceritanya. Biasa polisi dan pecalang ngajak ngobrol. Kata mereka, kalau ada yang resek, langsung saja lari. Yang penting saya di sana tidak resek dan enggak nyusahin orang,” katanya sembari membenarkan letak rambutnya.

Mawar tidak pernah membawa senjata tajam untuk melindungi dirinya.

Selain karena memang tidak boleh, dia mengaku tidak perlu karena di Bali relatif aman, berbeda dengan Jakarta.

Pekerjaan dunia malam yang dijalani Mawar ternyata bukan sekadar untuk mendapatkan uang.

Sebagai transgender, dia merasa agak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan seksualitasnya.

Karena itu, hingga saat ini dia tetap menjalani pekerjaan ini.

Walau belakangan akhirnya dia menemukan pacar laki-laki.

“Setidaknya harus tetap ada yang positif itu, ya menari itu,” ucapnya.  

Awal mula ikut mangkal adalah karena ajakan temannya.

Temannya itu juga yang mendorong dia untuk lebih berani menunjukkan jati diri, tidak sembunyi-sembunyi menjadi waria kaleng.

“Dulu sisiku memang masih cowok , tapi batinku sudah perempuan. Saat ketemu temenku ini, aku pikir, dia perempuan, ternyata sama. Lalu dia yang ngajarin make up, minjemin pakaian perempuan dan diajak terjun ke dunia ini,” jelasnya.

Mawar lalu menyuntikkan hormon perempuan di sebuah bidan di Bali untuk membuat payudara.

“Jadi semacam suntik KB untuk cewek, dan aku suntik hormon cewek,” imbuhnya. 

Sementara untuk perawatan kulit, dalam seminggu, dia menghabiskan sekitar Rp 250 ribu.

Mengingat hukum di Indonesia yang tidak memungkinkan terjadinya perkawinan sesama jenis maupun dengan transgender, Mawar sudah siap dengan risiko itu kalau dirinya tidak akan menikah.(sud/win)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved