Pembuatan Lelakut Tak Boleh Sembarangan, Ada Banten dari Pembuatan hingga Pemusnahan

Membuat orang-orangan sawah atau yang biasa disebut lelakut ternyata bukan perkara mudah dan tidak bisa dilakukan sembarangan

Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Rizal Fanany
Lelakut dengan bantennya. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Membuat orang-orangan sawah atau yang biasa disebut lelakut ternyata bukan perkara yang mudah dan tidak bisa dilakukan sembarangan.

Ada beberapa upakara atau banten yang mesti dipersiapkan, dari mulai pembuatan, pemasangan di sawah, saat sudah dipasang, hingga saat dicabut.

Hal ini disampaikan oleh Ketut Losen, Pekaseh Padang Galak, Denpasar Timur, ketika diwawancarai Sabtu (3/11/2018).

"Dengan mengikuti aturan yang ada, kita berharap padi bebas dari serangan burung. Lelakut yang murni itu berbahan dasar anyaman daun kelapa atau slepan," kata Losen.

Dalam membuat lelakut ini ada banten yang disebut banten paceket agar lelakut yang dibuat ini bertuah sesuai fungsinya.

Saat memasang juga ada banten peras tulung padewasan nanceb yaitu sebagai banten hari baik memasang lelakut.

"Setelah terpasang kita mengundang Sang Hyang Sepuh dan Sang Hyang Pemunah Sakti dengan menggunakan banten juga," katanya.

Setelah Sang Hyang Sepuh dan Sang Hyang Pemunah Sakti diundang, ada juga banten labaan paksi yang digunakan sebagai sarana mengusir burung.

"Kita buatkan labaan paksi untuk mengusir burung yang dilakukan oleh Beliau berdua (Sang Hyang Sepuh dan Sang Hyang Pemunah Sakti) ini," imbuhnya.

Selama 15 hari berturut juga dihaturkan segehan putih kuning satu biji setiap hari.

Dari awal pemasangan lelakut hingga panen pasti akan ketemu satu Rainan Kajeng Kliwon, dan pada saat ini dibuatkan banten kajeng kliwon dengan segehan poleng.

Selesai panen, lelakut dicabut dengan menggunakan banten suyuk pamrelina berisi segehan merah.

"Kalau lelakutnya bagus, biayanya gede, ada tata cara pemrelina dengan tidak dirusak tapi dipotong bagian leher, lalu kepalanya dibungkus, ditaruh terpisah dan bisa digunakan saat punya padi berikutnya," katanya.

Sementara lelakut yang terbuat dari anyaman daun kelapa harus dibakar setelah dihaturkan banten pralina.

Pembakarannya dilakukan di tengah sawah untuk mengembalikan Sang Hyang Sepuh dan Sang Hyang Pemunah Sakti ke tempat asalnya.

"Untuk lelakut lelaki ditemani pindekan sebagai simbol kekutan dan lelakut perempuan ditemani sunari sebagai lambang kelembutan," tuturnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved