Dharma Wacana
Jangan Takuti Colek Pamor dan Tapak Dara, Begini Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
Belakangan ini, fenomena goresan menggunakan material pamor, yang digores membentuk satu garis (colek pamor) maupun swastika
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ady Sucipto
oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
TRIBUN-BALI.COM, -- Belakangan ini, fenomena goresan menggunakan material pamor, yang digores membentuk satu garis (colek pamor) maupun swastika (tapak dara) pada pelinggih (tempat suci), kembali terjadi di sejumlah tempat di Bali.
Meskipun hal ini sudah pernah terjadi secara massif pada tahun 2005, dan sampel pamor telah diteliti di Laboratorium Forensik Polda Bali, namun hingga saat ini belum ada jawaban terkait siapa pelaku goresan pamor ini.
Masih misteriusnya fenomena ini, apakah kita sebagai umat Hindu harus takut dengan fenomena ini? Apakah kondisi ini pernah ditulis dalam sastra-satra kuno Hindu? Apa sejatinya yang ingin disampaikan oleh ‘tangan gaib’ tersebut dalam simbol colek pamor dan tapak dara?
Kita tidak bisa pungkiri, ketika ada sesuatu yang terjadi di luar nalar manusia, umat Hindu, bahkan umat lainnya akan merasa ketakutan.
Hal ini tidak bisa disalahkan, karena pola beragama kita lebih banyak berpola primitif.
Ketika pola beragama primitif masih berpengaruh dalam nalar manusia, maka sesuatu yang tidak bisa dijawab secara logika akan mengarahkan paradigma (sudut pandang) kita pada, apa yang disebut magisme.
Yakni, suatu keyakinan yang di dalamnya terdapat energi di luar kemampuan manusia.
Namun, energi ini bisa memberikan pertanda positif, dan bisa memberikan dampak negatif.
Maka dengan demikian, seharusnya colek pamor dan tapak dara tidak perlu ditakuti. Kita harus kembali pada satu hal, yakni Tuhan.
Tuhan adalah segala-galanya, beliaulah satu-satunya yang harus kita takuti. Kita setiap hari selalu mebanten, mebanten saiban, yadnya tidak henti-hentinya, terhadap tanda seperti itu, kenapa kita mesti takut.
Apa tapak dara itu? Kalau kita berbicara masalah tapak dara, sebenarnya kalau kita kembali ke ajaran agama, itu adalah aspek penyucian. Membangun keseimbangan antara dunia vertikal dan horizontal. Makanya kalau ada pelinggih ada tapak dara gak usah takut.
Tapi kalau colek pamor, dalam bahasa masyarakat, “oh nak suba macolek pamor,” berarti sudah berada di posisi negatif.
Jadi, dengan adanya hal ini, Sang Hyang Widhi Wasa telah memberikan petunjuk pada umatnya, bahwa ada sesuatu hal yang harus dibenahi, diperbaiki dan lebih meningkatkan bhakti pada beliau.
Siapa yang biasanya menulis tapak dara itu. Saya sendiri tidak tahu. Tidak ada sastra yag menyebut. Mungkin saja pertanda ada sesuatu yang menimpa seseorang, menimpa komunitas, alam, wilayah.
Asumsi saya, goresan tersebut dilakukan oleh tangan-tangan gaib Ida Bhatara. Beliau membantu umat mengingatkan. Maka dengan demikian, kita tidak perlu takut, tapi harus introspeksi diri. (*)