Simpang Ring Banjar
Festival Budaya Desa Delod Peken Beri Panggung untuk Berkesenian
Festival Budaya yang diprakarsai oleh Karang Taruna Widya Kusuma Desa Delod Peken ini menampilkan berbagai kesenian dan budaya
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Suasana Festival Budaya Delod Peken 2018 yang digelar di Panggung Terbuka Garuda Wisnu Serasi (GWS) tampak meriah, Jumat (14/12/2018).
Festival Budaya yang diprakarsai oleh Karang Taruna Widya Kusuma Desa Delod Peken ini menampilkan berbagai kesenian dan budaya dari masing-masing banjar yang ada.
Ini adalah festival yang pertama digelar dengan tujuan untuk tetap melestarikan kesenian budaya Bali.
Namun sejak 2010 lalu, Karang Taruna Widya Kusuma telah menggelar berbagai kegiatan seni budaya yang dirangkum dalam kegiatan parade budaya.
Parade digelar setiap dua tahun sekali.
Artinya destival ini merupakan kegiatan mengajegkan Bali yang ke-4.
Ketua Karang Taruna Widya Kusuma, I Made Adi Kurniarta mengatakan, kegiatan ini merupakan festival budaya yang pertama kali digelar.
Sebelumnya, seni dan budaya tidak dirangkum dalam festival namun dalam bentuk parade seni.
Parade sendiri sudah berjalan sejak 2010 lalu.
“Ini festival budaya yang pertama. Kalau yang sebelumnya dirangkum dengan acara parade kesenian setiap dua tahun sekali. Sejak saat 2010 itu merupakan momen kebangkitan dari Karang Taruna Widya Kusuma Desa Delod Peken,” ujar Made Adi, Jumat (14/12/2018).
Ia menuturkan, festival budaya berawal dari semangat berkesenian dan melestarikan adat budaya Bali di benak para anggota karang taruna khususnya dan masyarakat Desa Delod Peken umumnya.
Dengan menggelar festival ini, adat seni dan budaya Bali tetap terjaga oleh generasi penerus.
Selain itu, pagelaran festival juga karena sesuai program desa yang ada di Delod Peken.
Tujuannya untuk menggali potensi dan mengembangkan adat budaya Bali.
Bahkan saat ini di desa juga sudah terbentuk sekaa gong PKK, sanggar tari, hingga sanggar Bahasa Bali untuk anak anak.
Sehingga semua output dirangkum dalam festival untuk mempertunjukkan kesenian yang masing-masing banjar miliki.
"Artinya kami berikan panggung seluas-luasnya kepada masyarakat untuk tampil dalam festival ini. Karena biasanya banyak yang punya potensi tapi tidak berani tampil,” katanya.
Adi melanjutkan, kegiatan ini juga disesuaikan dengan Pergub Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
Karena dalam kegiatan juga akan menggelar penampilan dari masing-masing banjar seperti lomba Masatwa Bali.
Untuk penyelenggaran Festival Budaya Delod Peken 2018 akan berlangsung selama dua hari.
Di hari pertama dilangsung kegiatan parade STT dan lintas agama, penampilan gong mebarung PKK, penampilan 50 gender anak anak, bondres, dan acara musik.
Kemudian di hari kedua, akan menggelar kegiatan lomba mesatua Bali, mewarnai, zumba party, tari anak-anak, penyerahan hadiah lomba, penampilan dari komunitas tabuh, dan ditutup dengan band bergenre alternatif, Lolot.
Made Adi mengungkapkan, agar kedepannya masyarakat khususnya para pemuda yang ada di Desa Delod Peken menjadi generasi muda yang harus berani berinovasi dan tetap melestarikan Budaya dan Kesenian Bali.
Lahirnya Tokoh Ternama
Perbekel Delod Peken, I Gede Komang Restan Wisnawa menjelaskan, festival budaya ini digelar karena desa ini merupakan sentral kota Tabanan, dan tempat lahirnya tokoh-tokoh seni ternama di Bali.
Terlebih lagi, Desa Delod Peken terletak di lingkungan Puri Tabanan, yang pada zaman kerajaan selaku pembina seni.
“Tokoh seni di Tabanan lebih banyak ada Delod Peken, termasuk sang maestro kami, Bapak Ketut Maria yang bergabung di sekaa gong surya kencana Desa Delod Peken waktu itu,” jelasnya.
Hasil karya dari seniman yang terdahulu, baik Kebyar Buduk, Tari Tamulilingan, Tari Terompong, semua tercipta di Desa Delod Peken.
Termasuk salah satu tari pendet yang tercipta tahun 1942 oleh pak Wayan Begeg.
“Pada tahun 1957 dan 1961 para tokoh seni di Tabanan sempat tampil di Benua Eropa dan Amerika,” imbuhnya.
Keberhasilan tersebut kemudian terbukti bahwa ada enam tokoh seni yang mendapat piagam Dharma Kusuma atau piagam tertinggi Bali saat itu yang diberikan oleh Gubernur Bali.
Di antaranya, I Wayan Sukra, I Wayan Begeg, I Nengah Rita, I Nengah Ngayi, I Wayan Gejir dan Ketut Maria.
“Nah berkaca dari leluhur kami atau tokoh seni kami di sini, tanggung jawab kami sebagai generasi penerus agar tetap melestarikan kesenian budaya. Artinya ini memang tugas yang sangat berat,” tuturnya.
Restan mengharapkan, dengan digelarnya festival budaya ini akan memberikan ruang kepada generasi penerus khususnya dalam berkesenian.
Sehingga para generasi penerus ini bisa tetap melestarikan adat, seni, dan budaya Bali.
“Ke depannya, agar pembinaan bisa lebih menyasar ke seluruh usia terutama dimulai dari jenjang sekolah dasar,” tandasnya.(*)