Pelaku Usaha Diberi Waktu 6 Bulan, Harus Tinggalkan Kantong Kresek, Pipet dan Styrofoam

Pergub tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai mewajibkan produsen, pelaku usaha, konsumen meninggalkan plastik sekali pakai

Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Dwi S
Gubernur Bali keluarkan peraturan pelarangan penggunaan plastik sekali pakai. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai mewajibkan produsen, pelaku usaha, konsumen meninggalkan kantong plastik kresek, styrofoam dan pipet plastik.

Mereka diberi waktu selama enam bulan untuk penyesuaian.

Setelah itu sanksi diterapkan.

Dalam Pergub Bali Nomor 97/2018, Pemprov Bali memberikan waktu enam bulan bagi setiap produsen, pemasok, pelaku usaha dan penyedia plastik sekali pakai untuk menyesuaikan usahanya terhitung sejak Pergub ini diundangkan, pergub efektif mulai berlaku 21 Desember 2018.

Pergub juga mewajibkan kepada setiap produsen, distributor, pemasok dan setiap pelaku usaha untuk memproduksi, mendistribusikan, memasok dan menyediakan pengganti (substitusi) plastik sekali pakai, dan sekaligus melarang untuk memproduksi, mendistribusikan, memasok dan menyediakan plastik sekali pakai.

Waktu penyesuaian yang diberikan adalah 6 bulan.

Sebagai bentuk kepedulian semua pihak, baik instansi pemerintah, BUMD, swasta, lembaga keagamaan, desa adat, masyarakat maupun perseorangan juga dilarang menggunakan plastik sekali pakai.

“Jadi harus ada percepatan agenda dalam satu tahun ini. Kalau bisa dalam satu tahun sudah bisa mencapai target pengurangan sampah plastik ini 60 sampai 70 persen,” kata Gubernur Bali Wayan Koster saat memberi keterangan pers di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Senin (24/12/2018).

Selanjutnya, agar pelaksanaan pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai berjalan efektif, maka pemerintah akan melakukan pembinaan dan pengawasan melalui pembentukan tim gabungan.

Anggota tim terdiri dari unsur instansi vertikal, perangkat daerah, akademisi, LSM, pengusaha, tokoh keagamaan dan tokoh masyarakat.

Tim ini kata dia nantinya mempunyai tugas melakukan edukasi, sosialisasi, konsultasi, bantuan teknis, pelatihan/pendampingan dalam penggunaan bahan non plastik oleh produsen, distributor, penyedia dan masyarakat, serta penegakan hukum.

Dalam penyusunan Pergub, pihaknya juga mengambil referensi dari Peraturan Wali Kota (Perwali) Banjarmasin, serta masukan dari tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang datang ke rumah transisi beberapa waktu yang lalu.

Mengenai adanya Perwali Denpasar yang lebih dulu diterbitkan, kata Koster, isinya sudah disinkronkan. 

Dasar hukum yang digunakan dalam penerbitan Pergub yaitu Undang-undang nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Perda Provinsi Bali nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan sampah.

Begitu juga dengan sanksinya, dalam Pergub diatur bagi pelanggarnya akan diberikan dalam bentuk sanksi administratif dan disinsentif.

“Sanksi hukuman tidak ada, disinsentif yang ada seperti perizinan, kemudian kita akan publikasikan perusahaan itu karena tidak mengikuti aturan yang dikeluarkan Gubernur. Sanksi administrasi, nanti kalau dia tidak tertib, izinnya jangan diperpanjang,” tegasnya.

Apa Pengganti Pembungkus Ramah Lingkungan

Pelaku retail yang juga mantan ketua DPD asosiasi perusahaan retail Indonesia (Aprindo) Bali, I Gusti Ketut Sumardayasa mengatakan pada intinya adanya Pergub pelarangan plastik itu sudah bagus, namun ia meminta Pemerintah konsisten menindak setiap pelanggaran yang ada.

“Setiap regulasi yang dibuat harus berkeadilan, jadi semua merata. Jangan hanya di pasar modern saja, tapi juga harus di pasar tradisional, semua konsumen harus disamakan karena tanggung jawab lingkungan kan tanggung jawab semuanya. Jadi, jangan ada diskriminasi,” pesannya.

Ia juga mempertanyakan apa yang telah dilakukan perusahaan-perusahaan besar di Bali yang diduga ikut berkontribusi menyumbang sampah plastik yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan di Bali.

“Kemana CSR perusahaan-perusahaan besar itu, jangan masyarakat saja yang direm, tapi yang di atas juga. Plastiknya apa sudah dikendalikan, jangan hanya masyarakat yang diketatkan,” ujarnya.

Sumardayasa juga meminta pemerintah memikirkan alternatif dari kebijakan yang dikeluarkan, seperti melakukan sosialisasi terkait apa saja yang termasuk pembungkus ramah lingkungan. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved