Serba Serbi
Tilem Bertepatan dengan Kajeng Kliwon, Lakukan Ini
Dalam konteks kebudayaan di Bali yang dimuliakan bukan bulan terang saja atau Purnama, tapi gelap yang paling gelap juga dimuliakan
Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hari ini, Senin (4/2/2019), merupakan perayaan bulan gelap pada bulan kedelapan atau Tilem Kawulu bagi umat Hindu, khususnya di Bali.
Tilem ini merupakan pertanda bahwa sasih atau bulan dalam sistem kalender Bali telah usai dan berganti dengan sasih berikutnya yakni Sasih Kesanga atau bulan kesembilan.
Selain itu, Tilem Kawulu ini juga bertepatan dengan Kajeng Kliwon yang dianggap keramat oleh sebagian masyarakat Bali.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, pemujaan kepada gelap atau Tilem itu jelas sekali ditujukan kepada Siwa.
Menurutnya, dalam Jnyana Sidantha disebutkan di dalam matahari ada suci, di dalam suci ada siwa, di dalam siwa ada gelap yang paling gelap.
Hal itulah yang menyebabkan tilem mendapatkan pemuliaan.
Guna mengatakan di daerah Bangli ada Pura Penileman, dimana setiap Tilem dilakukan pemujaan di sana.
Baca: Hasil Liga Inggris, Manchester United Menang Tipis Atas Lecester City
Baca: LINK STREAMING Siaran Langsung Liga Inggris, Manchester City vs Arsenal
"Di Pura Penileman dilakukan pemujaan kepada Siwa, karena ada warga masyarakat yang nunas (meminta) pengidep pati atau sarining taksu jelas sudah Siwa. Bukti arkeologis ada arca Dewa Gana yang merupakan putra Siwa,” katanya.
Sehingga dalam konteks kebudayaan di Bali yang dimuliakan bukan bulan terang saja atau Purnama, tapi gelap yang paling gelap juga dimuliakan.
Sementara itu, dalam buku Sekarura karya IBM Dharma Palguna halaman 9 dikatakan, kepada kita para Guru Kehidupan (dan Guru Kematian) mengajarkan agar menghormati gelap, tidak kurang dari hormat pada terang.
Hormat pada gelapnya bulan mati (Tilem) tidak kurang dari hormat kita pada terang bulan purnama.
Disebutkan lebih lanjut dalam buku itu pada halaman 10, pembelaan Mpu Tan Akung kepada gelap yaitu gelap tidak harus dihindari atau diusir dengan mengadakan terang buatan.
Tapi dengan memasukinya, menyusupinya, meleburkan diri di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam diri.
Baca: Paulo Sergio Bergabung, Begini Komentar Ilija Spasojevic
Baca: Hasil Liga Inggris, MU Ungguli Leicester City di Babak Pertama
Saat Tilem atau bulan mati, umat Hindu wajib untuk mengenyahkan segala dosa, noda, dan kekotoran dari dalam diri.
Dalam lontar Sundarigama juga disebutkan.
Mwang tka ning tilem, wenang mupuga lara roga wighna ring sarira, turakna wangi-wangi ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring widyadari widyadara, sabhagyan pwa yanana wehana sasayut widyadari 1, minta nugraha ri kawyajnana ning saraja karya, ngastriyana ring pantaraning ratri, yoga meneng, phalanya lukat papa pataka letuh ning sarira.
Artinya:
Pada saat Tilem, wajib menghilangkan segala bentuk dosa, noda, dan kekotoran dalam diri.
Dengan menghaturkan wangi-wangian di Sanggar atau di parahyangan, dan di atas tempat tidur, yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadara.
Akan lebih baik jika mempersembahkan 1 buah sesayut widyadari untuk memohon anugerah agar terampil dalam melaksanakan segala aktivitas.
Baca: Sukses Sebagai Pemain dan Pelatih, Ternyata Solksjaer Belajar Taktik Sepakbola dari Game Ini
Baca: Caramu Makan Ternyata Bisa Ungkap Karakter Aslimu, lho! Lauk Berantakan Tandanya Suka Tantangan
Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga atau hening.
Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat.
Sementara itu, setiap lima belas hari sekali, Umat Hindu Bali merayakan hari raya Kajeng Kliwon.
Kajeng Kliwon merupakan hari raya yang jatuh berdasarkan pertemuan antara Tri Wara terakhir yakni Kajeng dengan Pancawara terakhir yakni Kliwon.
Terkait Pancawara Kliwon, dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Nihan taya amanah, kunang ring panca terane, semadi Bhatara Siwa, sayogia wong anadaha tirtha gocara, ngaturaken wangi ring sanggar, muang luwuring paturon maneher menganing akna cita.
Wehana sasuguh ring natar umah, sanggar, ring dengen, dening sega kepel duang kepel dadi atanding, wehakna ada telung tanding, iwaknia bawang jae.
Kang sinambat ring natar, Sang Kala Bucari.
Ring sanggar Bhuta Bucari.
Ne ring dengen, Sang Durga Bucari.
Ika pada wehana labaan, nangken kaliyon, kinon rumaksa umah, nimitania. Pada anemu sadia rahayu. Kunang yan kala biyantara keliyon, pakerti tunggal kayeng lagi.
Baca: Gampang & Murah! Stop Kebiasaan Merokok dan Bersihkan Paru-paru Secara Bersamaan dengan Resep Ini
Baca: 4 Fakta Video Viral Percobaan Bunuh Diri Bapak & 2 Balita di Pematangsiantar, Begini Klarifikasinya
Ini berarti saat Pancawara Kliwon merupakan payogan atau beryoganya Bhatara Siwa.
Pada saat ini sepatutnya melakukan pensucian dengan mempersembahkan wangi-wangian bertempat di merajan, dan diatas tempat tidur.
Sedangkan di halaman rumah, halaman merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, patut juga mempersembahkan segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut, disuguhkan tiga tanding yaitu:
Di halaman merajan, kepada Sang Bhuta Bhucari.
Di pintu keluar masuk, kepada Sang Durgha Bhucari.
Dan untuk di halaman rumah, kepada Sang Kala Bhucari.
Maksud persembahan berupa labaan setiap Kliwon ini untuk menjaga agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi sempurna.
Sementara untuk Kajeng Kliwon juga disebutkan:
Kadi ring keliyon nemu atutan kewala tambehane sega warna limang warna, dadi awadah, ring dengen juga genahing caru ika, ika sanding lawang ring luur, aturane canang lenga wangi burat wangi, canang gantal, astawakna ring Durga Dewem, ne ring sor, ring Durga Bucari, Kala Bucari buta Bucari, palania ayu paripurna sira aumah, yania tan asiti mangkana I Buta Bucari, aminta nugeraha ring Bhatari Durga Dewem, mangerubadin sang maumah, angadakakan desti, aneluh anaranjana, mangawe gering sasab merana, apasang pengalah, pamunah ring sang maumah, muang sarwa Dewa kabeh, wineh kinia katadah da waduanira Sang Hyang Kala, nguniweh sewaduanire Dewi Durga, tuhunia mangkana, ayua sira alpa ring wuwus manai.
Sementara itu pada hari raya Kajeng Kliwon, untuk upakaranya sama seperti pada hari Kliwon, hanya tambahannnya yaitu segehan lima warna lima tanding.
Baca: Kronologi Pembunuhan Mahasiswi di Palembang, Pelaku Akui Setubuhi Korban yang Sudah Tewas
Baca: Raffi Ahmad Ngaku Penghasilan dari YouTube Sampai Ratusan Juta, Bagaimana dengan 5 Youtuber Ini?
Pada samping kori sebelah atasnya dipersembahkan canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dan yang dipuja ialah Hyang Durga Dewi.
Yang disuguhkan di bawahnya untuk Sang Durga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, dengan tujuan agar berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah.
Jika tidak melakukan hal itu, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon penugrahan kepada Bhatara Durga Dewi, untuk mengganggu penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering atau penyakit dan mengundang kekuatan black magic, segala merana, mengadakan pemalsuan, yang merajalela di rumah, yang mana mengakibatkan perginya para Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sang Hyang Kala bersama-sama dengan abdi Bhatara Durgha.
Dalam buku Pokok-pokok Wariga karya I. B. Suparta Ardhana disebutkan ada jenis Kajeng Kliwon Uwudan dan Kajeng Kliwon Enyitan.
Kajeng Kliwon Uwudan merupakan hari baik untuk menghidupkan ilmu hitam atau pengiwa.
Dan untuk Kajeng Kliwon Enyitan merupakan hari baik untuk membuat sasikepan (jimat) atau sesuatu yang berkekuatan gaib.
Kajeng Kliwon Uwudan ini adalah Kajenh Kliwon yang diperingati setelah Purnama, sedangkan Kajeng Kliwon Enyitan dilaksanakan setelah Tilem.
Selain itu adapula Kajeng Kliwon Pamelastali atau Kajeng Kliwon yang dilaksanakan saat hari Minggu wuku Watugunung. (*)