Terkait Wacana Maskot Kabupaten Bangli, Mantan Rektor IHDN Ikut Berkomentar
Dari kalangan akademisi, yakni mantan Rektor Institut Hindu Dharma Indonesia Denpasar, Prof. Dr. Drs I Nengah Duija, M.Si turut memberikan komentar
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Bunyi kakawin tersebut memiliki arti "mustahillah katak dapat menikmati wangi bunga tunjung yang banyak tersebar di air. Berhari-hari dan bermalam-malam ia tinggal di tempat yang sama, tapi tiada mengetahui keindahan bunga teratai itu. Berbeda halnya dengan si lebah, dari jauh ia sudah mengetahuinya dengan segera. Seperti itulah kebodohanku yang hanya mengotori kaki para ahli yang bijaksana"
Dijelaskan lagi oleh Dharma Putra, Petikan Nirartha Prakrӗta itu membicarakan perihal katak, kumbang, dan bunga padma.
Katak adalah representasi dari pengarang atau orang dalam yang mengaku bodoh.
Sementara kumbang adalah representasi dari orang cerdas yang berasal dari luar.
"Katak menjadi aktor yang dikalahkan, sedangkan kumbang menjadi pihak yang dimenangkan dalam kasus mengetahui keindahan bunga padma," kata dia.
"Seperti katak, seperti bunga padma. Katak di bawah bunga padma. Siang dan malam dia di bawah bunga itu tapi dia tidak tahu bagaimana sebenarnya bunga itu. Namun ada kumbang dari jauh datang, itu yang menghisap sari padma. Itu yang harus kita hati-hati jangan jangan kita adalah katak yang berada di bawah pohon padma," sambung Dharma Putra.
Selain itu, Dharma Putra juga mengutip Geguritan Putra Sasana K yang menyebutkan bahwa padma sebanyak tiga kali yakni Padma Hredaya, Padma Sari dan Padma Wangi.
Padma Hredaya sendiri disebut sebagai stana Dewi Saraswati, Padma Sari digunakan stana oleh Hyang Giri Pati bersama Hyang Guru; dan Padma Wangi oleh Sang Hyang Sastra. (*)