Makna Dan Kesakralan Tarian Legong Lasem Hingga Peserta Kerauhan di Depan Puri Agung Denpasar

Ia menambahkan tari ini hingga kini belum diketahui siapa penciptanya dan bisa disebut tari wali maupun bebali.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali / Putu Supartika
Penari Legong Lasem 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Sebanyak 50 kelompok peserta mengikuti festival Tari Legong Lasem yang dilaksanakan di depan merajan Puri Agung Denpasar.

Festival ini dilaksanakan selama dua hari yakni Sabtu (23/2/2019) dan Minggu (24/2/2019) yang dimana peserta ini dibagi dua sehingga hari pertama sebanyak 25 kelompok dan hari kedua 25 kelompok.

Satu kelompok tarian ini terdiri atas 3 orang sehingga ada 150 orang peserta yang masih duduk pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar dari seluruh Bali.

Menurut tokoh Puri Agung Denpasar, AA Ngurah Wira Bima Wikrama, ini merupakan festival yang kelima dalam rangka menyambut HUT Kota Denpasar ke-231.

"Ini festival kelima dalam rangka hari jadi Kota Denpasar dan hari jadi Keraton Denpasar, karena HUT-nya diambil dari berdirinya Puri Agung Denpasar," katanya.

Menurutnya dalam latihan legong, hal pertama yang dilakukan yaitu membuat condong selama enam bulan, setelah itu baru dilatih legong. 

Kalau latihan dari nol minimal membutuhkan waktu 1 tahun untuk menguasai tari Legong.

Ia juga memberikan alasan kenapa pesertanya hanya untuk siswa SD.

"Kenapa SD saja? Karena legong keraton lasem ini adalah tari ibu. Artinya sebagian besar gerak tari bali ada pada tari legong lasem ini. Itu sebabnya sejak dini mulai mempelajari tari dasar ini untuk mempelajari tari yang lain," ujarnya.

Menurutnya, untuk bisa mempelajari tari yang lain tentu sedini mungkin mereka harus belajar Tari Legong Lasem ini.

"Kalau tiba-tiba mempelajari tari lain tidak dengan mempelajari tari ini, maka setengah-setengah jadinya. Agem, tandang, tangkep, tangkisnya kurang bagus makanya sedini mungkin harus belajar legong," imbuhnya.

Alasan kedua karena anak-abak SD lebih mudah dibentuk ketimbang yang sudah remaja. 

Pinggangnya masih lentur, kalau disuruh ngagem masih bisa karena masih luwes dan masih bisa dibentuk.

"Ketiga, untuk pelestarian budaya mau tidak mau pemerintah harus turun tangan karena punya komitmen pelestarian budaya apalagi kota Denpasar memiliki trad mark kota berwawasan budaya. Peleatariannya harus dari anak-anak tidak bisa ujug-ujug pelestarian kalau anak-abak tidak kita persiapkan untuk melestarikan khusunya legong keraton ini," ujarnya.

Karena cenderung sulit, kebanyakan anak-anak yang mengabaikan Tari Legong, sehingga memilih tarian lain.

"Kalau tidak ada komitmen pemerintah, sekolah, sangar-sangar, orang tua, siapa yang mau belajar. Sekali tampil hampir 25 menit. Tidak ada yang mau belajar seperti ini," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, IGN Mataram mengatakan setiap penari membawa style Legong Lasem masing-masing, akan tetapi gerakannya semuanya sama.

"Style itu misalnya ada yang agak jongkok ada yang setengah berdiri. Kompetisi ini juga untuk memperlihatkan skill atau kebolehan mereka dari hasil latihan di sanggarnya masing-masing. Tapi pesertanya dibuka umum mau perwakilan sekolah atau sanggar yang penting setingkat SD," kata Mataram.

Ia menambahkan tari ini hingga kini belum diketahui siapa penciptanya dan bisa disebut tari wali maupun bebali.

"Dulu tari ini biasanya ditarikan di keraton, sehingga namanya Legong Keraton, namun aslinya yakni Legong Lasem," katanya.

Sementara itu beberapa peserta juga mengalami kerauhan usai menarikan legong ini.

"Ya karena ada yang menggunakan gelungan sakral, makanya selesai menari ada beberapa yang kerauhan," imbuh Mataram. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved