Biofoam dan Obat Sariawan Antarkan Siswa SMAN 1 Denpasar Raih Prestasi Tingkat Dunia
Siswa kelas XI SMAN 1 Denpasar (Smansa) tersebut bersama dua tim berbeda berhasil meraih dua Silver Medal (medali perak) dalam lomba penemuan dan pene
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Sedangkan untuk mengekstrak salep, lanjut dia, timnya harus meminjam laboratorium di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, dan proses pengujiannya dilakukan di Fakultas Kedokteran Unud untuk menentukan berhasil atau tidaknya obat tersebut menjadi salep pereda sariawan.
Mengapa meneliti styrofoam?
Ia menjelaskan karena di sekolah dirinya sering melihat pada saat jam istirahat semua pedagang menggunakan styrofoam.
Styrofoam tersebut pada saat siswa selesai makan langsung dibuang begitu saja, karena tidak bisa digunakan dua kali.
Karena bersifat sekali pakai, maka otomatis hanya bisa digunakan sekali saja dengan resiko sampahnya sulit terurai dan akan terus menumpuk.
“Lama kelamaan kalau terus ditumpuk akan menimbulkan beberapa masalah, seperti mutasi genetik, kalau mencemari air bisa menjadi microplastic,” papar Dimas yang merupakan alumni SMPN 10 Denpasar dan SD Saraswati 3 Denpasar.
Di samping itu, kalau mencemari air juga tak kalah berbahaya, misalnya sampah sterofoam itu ditaruh ditempat sampah dan dibuang ke TPA Suwung.
Sedangkan TPA Suwung lokasinya dekat dengan pantai.
Otomatis styrofoam tersebut akan mencemari air dan akan menjadi microplastic.
Microplastic kemudian akan mencemari organisme laut dan dimakan oleh ikan
“Ikan tersebut kita konsumsi dan pengkonsumsian ikan tersebut berarti tidak baik lagi untuk manusia,” imbuhnya.
Maka dari itu, untuk menanggulangi kerusakan lingkungan akibat microplastic, para pedagang diharapkan menggunakan biofoam, sehingga sampahnya jika langsung dibuang dan terkena air maka bisa langsung terurai.
Adapun bahan-bahannya terbuat dari bahan alami sehingga jika terurai, maka tidak akan menghasilkan masalah apapun, dan bahkan bisa menjadi pupuk.
Siswa yang bercita-cita melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran Unud ini menambahkan dari hasil penelitian, umumnya styrofoam yang berbahan konvensional baru bisa hancur sekitar 900 tahun atau lebih, tergantung dari tempat dan situasinya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali juga sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang ‘diet plastik’, dan salah satu jenis plastik yang dilarang adalah sterefoam.