Simpang Ring Banjar
Banjar Dinas Pasar, Desa Anturan Buleleng Kembangkan UMKM Budidaya Taoge
Warga Banjar Dinas Pasar, Desa Anturan rata-rata bermatapencarian sebagai pedagang pedagang. Mereka mengembangkan UMKM Budidaya Taoge
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Banjar Dinas Pasar, Desa Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng memiliki jumlah penduduk sebanyak 503 Kepala Keluarga (KK).
Ratusan penduduknya rata-rata bermatapencarian sebagai pedagang. Maka banjar ini diberi nama Banjar Dinas Pasar.
Kelian Banjar Dinas Pasar, Ketut Suarta mengatakan, khusus di wilayah kerjanya, pemerintah desa saat ini tengah mengembangkan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Sedikitnya terdapat enam warga yang kini mengembangkan budidaya kecambah alias taoge.
Seperti yang dilakukan oleh Made Suraga. Pria berusia 45 tahun ini mengaku mulai menggeluti bisnis taoge sejak 12 tahun lalu.
Taoge itu biasanya dijual di pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah Kota Singaraja.
Suraga mengakui menjalani bisnis taoge tidak mudah. Selama 24 jam penuh ia harus mengawasi serta menyiram taoge agar tumbuh dengan baik.
Namun kerja kerasnya itu berbuah manis. Dalam sehari saja, ia mampu meraup keuntungan mencapai Rp 700 ribu hingga Rp 1,7 juta.

Cara membudidayakan taoge ia pelajari dari sosial media seperti Youtube dan Google. Bibit kacang hijau berkualitas tinggi ia pesan khusus di wilayah Bandung, Jawa Barat.
Setiap bulan, ia mempu memesan biji kacang hijau hingga sebanyak tiga atau empat ton dengan harga Rp 20 juta per tonnya.
Sebelum taoge ditanam, Suraga terlebih dahulu menyiapkan media tanamnya berupa baki untuk menampung air, keranjang, serta beberapa lembar kain yang sudah dibasahi.
Selanjutnya biji kacang hijau direndam selama kurang lebih 24 jam untuk kemudian ditebarkan di atas kain yang sudah dibasahi sebelumnya.
"Empat hari baru bisa dipanen," katanya.
Dulu, Suraga juga pernah melakoni bisnis budidaya sayur kangkung. Namun untuk mengembangkan usahanya itu, ia harus menyiapkan lahan hingga seluas tiga are.
Namun karena memiliki keterbatasan ekonomi, ia pun memilih untuk berbisnis taoge.
"Kalau bisnis taoge kan lahan yang dibutuhkan sedikit. Hanya beberapa meter per segi, dan untungnya juga lumayan. Saya coba pelajari cara membudidaya taoge lewat Google dan berkenalan dengan pengusaha-pengusaha taoge di Jawa. Sehingga astungkara saat ini bisnisnya lancar," tuturnya.
Tanpa Penyedap Rasa
Selain budi daya taoge, usaha home industry atau bisnis rumahan lainnya juga banyak ditemukan di Banjar Dinas Pasar.
Satunya di antaranya adalah home industry milik Luh Wiradi. Perempuan berumur 45 tahun ini menjual berbagai macam olahan keripik, tanpa penyedap rasa (MSG).

Keripik sukun, pisang, keladi, singkong buatannya mampu menembus pasar luas khususnya outlet-outlet makan organik dan pusat oleh-oleh khas Bali.
Usaha ini mulai ia geluti sejak 2014. Keripik-keripik itu hanya ia produksi bila ada pesanan. "Dalam dua pekan itu ada saja pelanggan yang mesan sekitar 100 bungkus," katanya.
Keripik yang ia jual hanya menggunakan bumbu atau rempah-rempah khusus seperti bawang putih dan kunyit untuk pewarna.
Bahkan khusus untuk keripik singkong dirinya cenderung menggunakan singkong kuning agar mendapatkan warna kuning alami.
Untuk bisa menembus pasar luas khususnya market organik, selain dilihat dari kualitas bahan baku dan strelilisasi tempat produksi, juga diperlukan pengemasan yang menarik serta izin jaminan usaha makanan atau minuman rumahan yakni PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga).
Oleh karena itu setiap produknya dikemas sedemikian rupa dengan label “Warung Luh Buleleng” lengkap dengan keterangan masa kadaluarsa produk itu sendiri. (*)