Melarat di Pulau Surga
Mengaku Keluarga Berada di Biaung-Tabanan, Luh Ariani: Bilangnya Benci Sama Saya
Sama seperti seorang wanita pada umumnya, meski fisiknya tak bisa digerakkan dengan baik, Luh Ariani tetap memasak dan meracik makanannya sendiri.
Penulis: Noviana Windri | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Fisiknya lengkap, namun tak berfungsi dan tak bisa digerakkan dengan baik.
Menderita polio sejak dirinya duduk di kelas 6 SD, Luh Ariani wanita asal Tabanan yang kini tinggal di sebuah rumah batu di kaki Gunung Batur, Kintamani, Bangli, Bali.
Luh Ariani yang tak mengingat tanggal lahirnya ini mengatakan dirinya belum menikah.
Sama seperti seorang wanita pada umumnya, meski fisiknya tak bisa digerakkan dengan baik, Luh Ariani tetap memasak dan meracik makanannya sendiri.
Namun, bumbu masakan yang terlihat di dapur yang sekaligus ruang tamu baginya hanyalah ada 1 jenis bumbu penyedap makanan.
Tak ada minyak, garam, gula, lengkuas atapun jahe, saos, bawang putih dan bumbu lainnya.
Bahan makanan yang Luh Ariani dapat merupakan pemberian orang yang ia sebut sebagai temannya.
"Ini saya dapat dikasih teman. Kalau saya kasih uang tidak pernah mau. Dikasih begitu saja," ujarnya saat ditemui Tribun Bali di rumah batunya, Jalan Pendakian Gunung Batur, Kintamani, Bangli, Bali, Sabtu (13/4/2019).
Peralatan masak pun hanya ada 3 buah panci yang ia dapat dari pemberian orang.
Tungku masak pun hanya dibuat dari 3 buah batu yang disusun sedemikian rupa.
Luh Ariani mengaku saat itu ia bersekolah hingga kelas 6 SD saat ia masih ditinggal di Tabanan bersama orang tuanya.
Orang tuanya memaksanya melajutkan sekolah di Denpasar namun ia tolak.
"Saya dulu punya saudara angkat. Saudara angkat saya tidak pernah pisah dengan saya. Saya juga sedih kalau berpisah dengan saudara saya jika harus sekolah di Denpasar. Makanya saya tidak mau meneruskan sekolah di Denpasar," ungkapnya yang saat itu tengah memotong daging ayam dan kentang untuk dimasak.
Luh Ariani menceritakan sakit polio yang diderita berawal dari ia jatuh dari sepeda motor saat hendak berangkat sekolah.
Kecelakaan yang Luh Ariani alami menyebabkan tulang kakinya retak parah dan menggunakan gypsum selama hampir 6 bulan.
"Dulu juga sempat dirawat di RS Sanglah. Sampai menghabiskan uang banyak. Sekitar 4 juta 900 ribu. Kalau datang sakitnya rasanya nyut-nyut gitu. Hingga akhirnya bapak saya memanggil kakek saya yang tinggal di Kintamani untuk menjemput saya," ungkapnya.
Luh Ariani menceritakan kakek dan neneknya saat itu bekerja sebagai pencari dan penjual taru.
Namun, saat ini kakek dan neneknya sudah meninggal.
Luh Ariani juga menyebut orang tuanya berasal dari Biaung, Tabanan, Bali.
Namun, saat Tribun Bali menanyakan pernah atau tidaknya ditengok oleh keluarganya yang di Tabanan, Luh Ariani hanya menggeleng.
"Gak tau. Bilangnya benci sama saya. Pas saya sudah seperti ini. Bisa dibilang saya dibuang," pungkasnya.
Meski tinggal seorang diri dalam rumah batunya, terdapat 2 rumah batu lainnya yang tak jauh dari rumah batu milik Luh Ariani di Kaki Gunung Batur, Jalan Pendakian Gunung Batur, Kintamani, Bangli.

Seperti diketahui sebelumnya, tiga rumah dari bebatuan yang disusun rapi tanpa semen bertengger di kaki Gunung Batur.
Rumah dengan ukuran lebar sekitar 3 meter dan tinggi 1 meter ini terletak di pinggir jalan pendakian Gunung Batur, Kintamani, Bangli.
Tampilannya sangat sederhana. Rumah batu itu hanya beratap asbes, tripleks dan terpal serta berlantai tanah.
Luh Ariani, wanita asal Tabanan yang tak ingat tanggal lahirnya, adalah salah satu di antara penghuni rumah batu di kaki Gunung Batur tersebut.
Wanita penderita folio sejak kelas 6 SD ini tinggal seorang diri di rumah batunya. Tak terlihat kasur atau perabotan layaknya di sebuah rumah pada umumnya.
Pintu rumah terbuat dari tripleks bekas dengan panjang dan lebar 1 meter.
Rumah batu Luh Ariani memiliki 2 ruang yang dibatasi oleh kayu dan terpal. Ruang pertama di sisi kanan berfungsi sebagai dapur.
Ada satu tungku sederhana yang tersusun dari tiga buah batu. Di sana terdapat tiga buah panci, beberapa jeriken, beberapa bak plastik yang ia dapat dari pemberian orang.
Ruang kedua berada di sisi kiri yang berfungsi sebagai ruang tidur.
Namun, di ruangan yang ia anggap sebagai ruang tidur tersebut tidak terlihat dipan, kasur, bantal, selimut atau perabotan tidur lainnya. Hanya terlihat beberapa karung beras bekas di tanah dan di dekat pembatas ruangan.
"Itu buat alas saya tidur. Kalau hujan ya banjir. Terus saya tidur pindah ke dapur sini. Soalnya kalau di kamar itu pasti bocor. Kalau di dapur ya tidak terlalu banyak air," ujar Luh Ariani sambil menunjuk atap terpal yang sudah mengembung karena menampung air hujan.
Mandi Saat Hujan Turun
Di sekitar rumah batu Luh Ariani tak ditemukan area khusus untuk tempat mandi, cuci dan kakus (MCK).
Saat Tribun Bali menanyakan bagaimana cara ia mandi, ia mengaku mandi hanya ketika hujan.
"Saya mandi kalau hujan saja. Kalau tidak hujan ya tidak mandi. Tapi kadang saya pergi ke danau. Tidak ada yang nganter, saya jalan ke danau sendirian. Karena jauh saya tidak kuat kalau sering ke danau, makanya mandi kalau hujan saja," ceritanya.
Sedangkan untuk keperluan air sehari-hari, ia menggunakan air hujan yang ia tampung dalam 2 buah bak plastik berukuran sedang.
Luh Ariani juga hanya memiliki beberapa potong pakaian. Satu pasang pakaian yang melekat pada tubuh yang ia kenakan saat ditemui Tribun Bali.
Dan, beberapa helai kain yang ia jemur di depan rumah batu. (*)