Jadi Warisan Budaya Dunia Sejak 2012, Kini Lahan Produktif di Jatiluwih Makin Menyusut

Manajer Daerah Tujuan wisata (DTW) Jatiluwih, I Nengah Sutirtayasa mengatakan, kondisi di kawasan persawahan Jatiluwih kini mulai menyusut

Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Made Prasetia Aryawan
Dua orang wisatawan tampak sedang menikmati suasana persawahan di DTW Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, Selasa (23/4/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Lahan persawahan Jatiluwih yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) sejak tahun 2012, kini menyusut.

Jumlahnya dari 305 hektare saat ini menjadi 227 hektare. Artinya ada penyusutan 78 hektare. 

Manajer Daerah Tujuan wisata (DTW) Jatiluwih, I Nengah Sutirtayasa mengatakan, kondisi di kawasan persawahan Jatiluwih kini mulai menyusut.

Hal itu disebab oleh beberapa faktor. Mulai dari alih fungsi lahan yang dulu pertanian menjadi bangunan fisik, kemudian permasalahan air dari sumber mata air yang terus berkurang.

“Situasi di sini (Jatiluwih) sekarang sawahnya juga berkurang dari semula 305 hektare yang dicap sebagai lahan produktif saat ini menjadi 227 hektare. Penyusutan puluhan hektare ini bersumber dari berbagai masalah salah satunya debit air yang berkurang dan alih fungsi lahan,” ujar Sutritayasa.

Turunnya debit air tersebut menyebabkan Jatiluwih membutuhkan pembangunan bendungan di wilayah Desa Adat Gunung Sari untuk penampungan air yang selanjutnya disalurkan ke subak (irigasi) setempat.

Dari dulu sudah diajukan ke pemerintah pusat karena memerlukan anggaran yang begitu besar, namun belum terwujud

“Kami berharap juga agar pemerintah lebih bijak menangani hal ini. Karena setiap tahun terjadi penyusuatan lahan pertanian di kawasan Jatiluwih. Selain itu, lahan pertanian juga menjadi pendapatan ekonomi dan aktivitas masyarakat,” harapnya.

Asisten I Bidang Pemerintah dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Tabanan, I Wayan Miarsana mengakui memang ada beberapa faktor yang menyebabkan lahan persawah mulai menyusut.

Seperti adanya alih fungsi lahan dengan dibangunnya akomodasi pariwisata, termasuk juga turunnya debit air untuk menyalurkan air ke subak yang ada di Jatiluwih.

“Kami sudah sampaikan ke masyarakat, desa, dan pengelola DTW Jatiluwih untuk tetap menjaga lahan persawahan ini tidak menyusut lagi.  Sebelum adanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), tidak boleh ada pembangunan apa pun,” katanya.

RTDR ini nantinya akan memberikan jawaban kepada masyarakat Jatiluwih tentang mana saja lahan atau kawasan yang peruntukkan untuk pembangunan di kawasan warisan budaya dunia.

“Setelah itu (RDTR) itu terbit, kita akan tau wilayah mana saja yang boleh dibangun dan mana yang tidak,” akunya.

Disinggung mengenai adanya usulan pembuatan bendungan di wilayah Gunung Sari, Miarsana mengakui hingga saat ini anggaran untuk pebangunan belum juga turun.

Kemungkinan membutuhkan anggaran yang sangat besar, dan jika dianggarakan dari keuangan daerah Tabanan juga tak mungkin bisa. 

“Anggaran pembuatan bangunan sangat besar jadi kita belum bisa menganggarakan. Sehingga kami saat ini masih menunggu bantuan dari pemerintah pusat,” tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved