Simpang Ring Banjar

Megandu, Permainan Tradisional Usai Masa Panen yang Sudah Ada Sejak 1956

Warga Banjar Ole khususnya anak-anak hingga remaja memilih untuk melestarikan sebuah permainan tradisional yakni megandu

Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Irma Budiarti
Banjar Ole
Megandu, Permainan Tradisional Usai Masa Panen yang Sudah Ada Sejak 1956 

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Permainan tradisional di Bali mulai jarang ditemukan.

Hal ini disebabkan oleh banyak faktor.

Satu diantaranya teknologi.

Namun disrupsi terhadap permainan tradisional tidak berlaku di Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Tabanan.

Warga setempat khususnya anak-anak hingga remaja memilih untuk melestarikan sebuah permainan tradisional yakni megandu.

Permainan ini sudah dimainkan oleh warga Banjar Ole sejak tahun 1956 silam.

Koordinator Sanggar Wintang Rare, I Wayan Weda menuturkan, sejarah permainan megandu secara tertulis memang tak ada.

Namun megandu dikenal secara turun-temurun sejak dahulu oleh para leluhur setempat.

Permainan megandu memang asli ada di Banjar Ole.

Kata dia, megandu berasal dari kata gandu yang berarti dipukul atau dilempari sehingga warga kerap mengatakannya digandu.

Permainan ini sudah dimainkan sejak 1956 silam.

Megandu merupakan permainan spontanitas yang memang dilaksanakan di sawah saat sehabis panen padi.

Baca: Cita Rasa Khas Badung Utara, Nikmati Kopi Plaga di Toosi Coffee

Baca: TRIBUN WIKI - 26 Daftar Nama Tersangka Bom Bali I

"Ini merupakan permainan yang tetap dilakukan secara turun temurun. Menurut leluhur tiang terdahulu, permainan ini sudah dimainkan sejak 1956 silam," ujar Weda.

Permainan tradisional asli Banjar Ole ini tampil pertama di Art Centre pada 1998 lalu.

Hal itu terus berkelanjutan hingga tahun 2000.

Namun semenjak tahun 2003 ia tak kunjung mendapat panggilan untuk tampil di Art Centre serangkaian acara Pesta Kesenian Bali (PKB).

Setelah lama vakum, ia pun berinisiatif untuk membuat sebuah acara yang bernama Festival ke Uma yang juga memainkan permainan tersebut pada 2017 lalu.

Hingga saat pada 2018 lalu, permainan tradisional megandu akhirnya dipentaskan kembali di Art Centre, Denpasar.

"Memang sempat tidak dimainkan beberapa tahun setelah sekitar tahun 2003, tapi kami coba untuk membangkitkan kembali lewat Festival ke Uma di sini (Banjar Ole) hingga pentas kembali di Art Centre pada acara PKB tahun 2018," tuturnya.

Cara memainkannya tidak sulit.

Pertama adalah jumlah pemainnya minimal lima orang dan maksimal hingga hingga 20 orang.

Baca: Koster Programkan Bali Wajib Belajar 12 Tahun, Target Tuntas Empat Tahun Kedepan

Baca: Pencak Silat Bali Latih Tanding Lawan Jawa Timur, Ajang Evaluasi dan Asah Kemampuan

Jumlahnya pun bisa disesuaikan dengan tempat yang digunakan.

Setelah peserta lengkap, barulah mereka kemudian membuat sebuah alat berbentuk oval yang dinamakan telur gandu yang berasal dari lumpur yang kemudian digulung dengan jerami.

Jumlah telur gandu akan dibuat sesuai dengan berapa jumlah peserta.

Setelah pembuatan telor gandu selesai, barulah sebuah patok kayu ditancapkan di tengah areal sawah yang selanjutnya tali pelepah kelapa dibentangkan dengan ukuran 3-4 meter atau sesuai kesepakatan dan areal tempat bermain.

Setelah itu, barulah telur-telur gandu ini akan diletakkan tepat di bawah patok kayu yang telah dipasang.

Setelah semuanya siap meraka kemudian majangkit atau suit untuk menentukan satu orang yang akan bertugas menjaga telur-telur gandu jerami. 

Setelah ada satu orang yang terpilih, megandu pun bisa dimulai.

Sistem permainannya yakni bola jerami yang terkumpul di tengah lingkaran ibarat telur yang harus dijaga oleh pemiliknya.

Pemiliknya adalah mereka yang terpilih saat majangkit.

Pemilik atau si penjaga telur bertugas melindungi telur-telur tersebut dari gangguan dan berusaha agar telur tidak diambil.

Saat bersamaan peserta lain yang mengitari si penjaga harus mengambil telur-telur jerami yang tergeletak di tengah sampai habis.

Baca: Petani Kesusahan Jual Beras Impari, Biaya Tanam Rp 12 Juta tapi Ditawar Hanya Rp 6 Juta saat Panen

Baca: Kabar Terbaru Kondisi Cedera Melvin Platje Jelang Laga Kontra Persija, Apa Kata Melvin?

Di situlah tantangannya, jika ada yang mendekat hendak mengambil telur, penjaga harus berusaha mengusir dengan cara mendekati orang tersebut sampai tersentuh tali.

Ia (pemilik telur) akan tetap berusaha untuk menjaga telurnya dengan berlari lari ke arah kiri maupun kanan sembari membentangkan tali.

Namun ketika salah satu telur berhasil diambil oleh si pencuri, permainan pun semakin seru diiringi dengan sorak sorai dari peserta dan para penonton.

"Nah itu terus berlanjut, dan ketika telur itu habis. Si penjaga ini akan mendapat hukuman dengan dilempari oleh telur gandu itu sendiri. Penjaga nantinya pasti akan berlumuran lumpur dan bahkan ada yang sampai menangis karena begitu banyaknya lemparan telur," jelasnya.

Tak Terpengaruh Teknologi

Sampai sekarang permainan ini tetap dilestarikan dengan melibatkan Sanggar Wintang Rare yang sudah ada sejak 1996 lalu.

Disinggung mengenai pengaruh dari adanya teknologi saat ini, ia mengatakan dengan adanya teknologi yang sekarang ini, permainan ini tidak begitu bergeser.

Semua antusias untuk mengikuti jika sudah dipentaskan.

"Permainan ini tak terpengaruh oleh apa pun termasuk teknologi karena saat permainan mereka akan fokus untuk bermain saja sehingga permainan ini menjadi seru dan menyenangkan serta bisa menghibur para penonton," kata Weda.

Weda mengatakan, permainan ini tak hanya permainan biasa karena di dalamnya memiliki manfaat yang sunggur luar biasa.

Yakni olahraga, kedisiplinan, patuh dengan aturan hingga persaudaraan yang kuat tertuang dalam permainan ini.

Ia pun berharap permainan trasional ini tetap ada seterusnya dan tak kan pernah mati. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved