Dipukul, Digigit, Dicakar & Luka Lebam Tak Jadi Perlakuan Terparah Dalam 34 Tahun Pengabdiannya

Menjadi seorang guru mendidik anak-anak yang mempunyai keterbatasan memang diperlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa.

Penulis: Noviana Windri | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Noviana Windri
Ni Wayan Ratih Tritamanti tengah memberikan pengarahan sepulang sekolah kepada anak didiknya di SLB N 1 Denpasar, Jalan Sersan Mayor Gede, Dauh Puri Klod, Denpasar, Bali, Sabtu (25/5/2019) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menjadi seorang guru mendidik anak-anak yang mempunyai keterbatasan memang diperlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa.

Seperti Ni Wayan Ratih Tritamanti yang sudah selama 34 tahun mengabdi menjadi pendidik di SLB N 1 Denpasar.

Ratih Tritamanti saat ini menjadi Wakasek Kurikukulum SLB N 1 Denpasar juga pernah meraih juara 1 Guru Berdedikasi se-Provinsi Bali.

SLB N 1 Denpasar yang saat ini tidak hanya dihuni oleh siswa tuna netra, namun berkebutuhan khusus lainnya seperti autis, hiperaktif, gangguan emosi sosial atau tunalaras, tuna grahita dan lainnya.

Bagi Ratih, teknik pengajaran dan pendekatan khusus bagi setiap siswa yang menyandang kebutuhan khusus berbeda-beda.

Khususnya bagi anak-anak dengan gangguan emosi sosial atau tunalaras.

Dalam mengajar, ia berusaha tidak menatap wajah dan mengondisikan lingkungan sekitar untuk tidak merespon saat anak tersebut emosi atau marah.

"anak dengan gangguan emosi sosial itu selalu mencari-cari musuh. Datang ke sekolah mencari musuh. Kemudian mencari perhatian dengan teriak-teriak. Kadang berteriak dengan bahasa tidak enak didengar,"

"Untuk anak semacam itu, pertama saya kondisikan dengan tidak menatap wajah mereka ketika mereka marah. Saya melakukan yang lain-lain tidak usah ditanggapi. Kalau ditanggapi dan diperhatikan, mereka akan terus emosi," paparnya.

Diakuinya, anak-anak dengan gangguan emosi sosial atau tunalaras merupakan tantangan terberatnya dalam mengajar.

Anak-anak tunalaras lebih cepat emosi karena terjadi salah persepsi dan terus melakukan pembenaran diri.

"Kita melatih mereka untuk berinteraksi dengan ramah terhadap orang lain. Disamaratakan dengan murid yang lainnya. Akhirnya dari situ kita tahu mereka tertarik dengan kegiatan apa,"

"Sebenarnya anak-anak yang unik. Pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang pada dasarnya tahu baik buruknya apa yang dilakukan. Hanya saja mereka tidak bisa mengendalikan emosi, mencari perhatian, dan kalau ada yang merespon emosinya malah senang," ujarnya.

Dalam mengajar anak penyandang tunalaras, Ratih menyebutkan sering digigit, dipukul, dicakar dan hal lain yang menyebabkan lebam dibagian tubuhnya ketika anak didiknya sedang emosi.

"Kalau digigit itu bukan perlakuan terparah yang pernah dilakukan anak-anak kalau sedang emosi ya. Luka lebam saya juga sering. Dipukul mungkin tidak sengaja karena gerak reflek. Ditarik rambut juga pernah,"

"Kalau mereka sedang emosi memuncak, juga pernah pernah saya dicekik dan tangan mereka itu sulit sekali dilepaskan. Mereka biasanya melakukannya spontan. Kita tidak pernah tahu penyebabnya," ungkapnya.

Namun, Ratih melakukan tindakan preventif dalam mengajar anak penyandang tunalaras untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi.

Dengan memberikan pendekatan dengan cara memberikan kompensasi dengan kegiatan yang menarik sesuai dengan bakat dan minat anak penyandang tunalaras. (*) 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved