Made Karunia Menangis Pikirkan Nasib Depositonya Setelah Izin Usaha BPR Legian Dicabut
Wanita asal Singaraja ini pun menanyakan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atas nasib depositonya sejak 2014 lalu.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Ni Made Karuniawati tak kuasa menahan tangis saat mendatangi kantor pusat BPR Legian di Jalan Gajah Mada, Denpasar, Bali, Jumat (21/6/2019).
Ia tak pernah menyangka BPR Legian akan bangkrut dan ditutup oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhitung mulai 21 Juni 2019.
Karuniawati sangat khawatir uangnya dalam bentuk deposito hilang setelah BPR Legian ditutup.
Wanita asal Singaraja ini pun menanyakan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atas nasib depositonya sejak 2014 lalu.
“Saya punya deposito Rp 30 juta di sini. Deposito ini terdiri dari dua bilyet, masing-masing Rp 15 juta dengan bunga setiap bulan Rp 100 ribu,” sebutnya dengan wajah sembab kepada Tribun Bali.
Kesedihan mendalam terpancar dari matanya yang berkaca-kaca, karena uang tersebut ia kumpulkan dengan susah payah menjadi karyawan di sebuah villa selama bertahun-tahun.
“Awalnya diajak teman, dibilang BPR Legian ini bagus pada zaman dahulu, saya akhirnya menaruh uang di sini. Apalagi kan akses BPR Legian ini kebanyakan nasabahnya adalah pedagang di Pasar Badung dan Kumbasari. Jadi kemungkinan untuk tutup saya rasa tidak ada. Ternyata sekarang malah tutup,” jelasnya.
Karuniawati mengaku mengambil bunga dari depositonya setahun sekali agar jumlahnya lebih banyak.
Ia pun berharap setelah hasil verifikasi LPS terhadap BPR Legian, dananya bisa kembali.
“Soalnya saya mengumpulkannya setengah mati. Dana itu rencananya akan digunakan untuk membangun rumah,” imbuhnya.
OJK Regional 8 Bali-Nusa Tenggara secara resmi telah mencabut izin usaha PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Legian. Sesuai Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-103/D.03/2019, tentang Pencabutan Izin Usaha PT BPR Legian terhitung sejak 21 Juni 2019.
Gagal Lakukan Penyehatan
Kepala Kantor OJK Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara, Elyanus Pongsoda, menjelaskan pencabutan izin usaha BPR Legian dilakukan setelah pemegang saham dan pengurus BPR tidak dapat melakukan penyehatan terhadap BPR dalam jangka waktu pengawasan khusus, sesuai ketentuan maksimal dua bulan dari tanggal 28 Maret sampai 28 Mei 2019.
“Penetapan status Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK) ini, disebabkan permasalahan pengelolaan manajemen yang tidak mengacu pada prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik, serta adanya intervensi negatif pemegang saham pengendali (PSP) dalam kegiatan operasional bank. Yang mengakibatkan kinerja keuangan BPR tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku,” jelasnya kepada awak media.
Salah satu ketentuan tersebut yaitu rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling sedikit sebesar 8 persen.
Namun upaya penyehatan yang dilakukan BPR, sampai batas waktu yang ditentukan tersebut, tidak dapat memperbaiki kondisi BPR untuk keluar dari status BDPK, yang harus memiliki rasio KPMM paling sedikit 8 persen.
Hal tersebut membuat Capital Adequancy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal BPR Legian juga memburuk.
CAR adalah rasio kecukupan modal yang berfungsi menampung resiko kerugian yang kemungkinan dihadapi bank.
Semakin tinggi CAR, maka semakin baik kemampuan bank tersebut menanggung resiko dari setiap kredit atau aktiva produktif yang beresiko.
“Ada banyak kriteria sampai BPR Legian dalam status BDPK, seperti permodalan, likuiditas, rentabilitas, dan sebagainya. Salah satunya CAR ini, karena kalau CAR di bawah 4 persen maka BPR masuk BDPK,” tegasnya.
Hasil pengawasan OJK baik pusat maupun KR 8 Bali-Nusra dari pemeriksaan umum dan khusus, dilihat CAR-nya di bawah 4 persen.
“CAR kan satu rasio yang dijadikan ukuran dalam menilai BPR ini. Modal dibagi aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR). Jadi modal juga banyak macam, ada modal disetor, laba, dan lain-lain. Kami melihat ada perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian, termasuk ada pengambilan dana, untuk kepentingan lain dari pemegang saham. Sehingga berdampak terhadap laba-rugi,” jelasnya.
Awalnya, posisi CAR BPR Legian sebelum didaftarkan menjadi BDPK itu 13 persen dan masih positif.
Kemudian setelah dilakukan pemeriksaaan detail, CAR-nya turun menjadi 3,62 persen.
Karena itu di bawah 4 persen, maka ditetapkan sebagai BDPK.
Setelah didalami semakin banyak ditemukan masalah, dan semakin banyak dikoreksi hingga CARnya menjadi minus 8,97 persen per 31 Mei 2019.
Kualitas kredit yang tidak lancar juga sangat tinggi.
“Upaya penyehatan dilakukan, dan apabila tidak bisa ditambah dana segar, maka bisa mengundang investor lain. Atau upaya lain yang dilakukan pemegang saham, agar modal menjadi kuat,” terang Elyanus.
OJK memberikan kesempatan menyehatkan diri, namun sampai jangka waktu yang ditentukan perbaikan kinerja bank tidak berhasil mencapai kriteria yang ditentukan.
Saat ini, per 31 Mei 2019 total aset BPR Legian Rp 175 miliar, total tabungannya Rp 33 miliar, total deposito Rp 110 miliar.
Kemudian total kredit Rp 129 miliar, terbagi di antaranya kredit lancar Rp 59 miliar, kurang lancar Rp 37 miliar, kredit diragukan Rp 26 miliar, dan kredit macet Rp 6 miliar dengan NPL hingga 54,25 persen.
BPR Legian mempunyai 3 kantor cabang, 3 kantor kas, dan satu kantor pusat.
Jumlah ini pun masih akan dihitung lagi oleh LPS, sebelum dibayarkan kepada nasabah.
“Yang diambil itu kan yang ada di kas, atau di antar bank seperti giro. Yang sudah tertanam dalam bentuk kredit kan tidak mungkin diambil,” imbuh Elyanus.
Ia pun berharap BPR lainnya menjadikan ini pelajaran, karena ia berkomitmen ikut memperkuat BPR.
”Jangan sampai ada intervensi negatif dari pemegang saham,” ujarnya.
Ia pun mengharapkan industri BPR di Bali dari total 136 bisa tumbuh sehat.
Apalagi BPR juga sangat dekat dengan sektor UMKM di masyarakat.
Tak Diselamatkan LPS
Sementara Sekretaris LPS, Muhamad Yusron, menjelaskan sesuai undang-undang LPS ada mekanisme saat LPS diberikan informasi oleh OJK sebagai pengawas perbankan, tentang perbankan yang ada dalam pengawasan khusus.
“Jadi BPR Legian sudah masuk ke dalam BDPK, kemudian upaya penyehatan bank tidak berhasil dilakukan. Lalu LPS akan memutuskan BPR Legian akan diselamatkan atau tidak diselamatkan,” katanya.
Kemudian berdasarkan hasil analisis LPS, akhirnya diputuskan untuk tidak menyelamatkan BPR Legian ini.
“Hasil ini kami sampaikan ke OJK, sebagai otoritas perbankan yang memberikan izin dan mencabut izin,” tegasnya.
Per 21 Juni 2019, BPR Legian dicabut izin usahanya oleh OJK.
Keputusan tidak menyelamatkan ini membuat bank harus ditutup dan LPS melakukan proses likuidasi dilanjutkan dengan pembayaran klaim.
“Jadi ini keputusan internal kami, dan ada perhitungannya. Jadi kebutuhan dana untuk menyelamatkan berapa dan kalau tidak diselamatkan berapa,” jelasnya.
Lanjutnya, jika tidak diselamatkan maka LPS akan menghitung biaya likuidasinya atau pembayaran klaim nasabah. “Kami sudah hitung dan analisis itu semua. Jadi kami akan bandingkan biaya untuk menyelamatkan dengan tidak menyelamatkan,” tegasnya.
Apabila lebih rendah dan murah biaya tidak menyelamatkan ketimbang menyelamatkan, maka LPS akan melakukan proses likuidasi atau tidak menyelamatkan bank tersebut. Hal ini juga berlaku ke BPR Legian, dan akhirnya diputuskan untuk dilikuidasi.
Hingga saat ini telah ada 6 BPR di Bali yang ditutup dan dicabut izinnya oleh OJK, salah satunya BPR Legian.
Sementara itu, sejak 2005 hingga 2019 sudah ada 96 bank yang dilikuidasi oleh LPS, 95 diantaranya BPR dan 1 bank umum. (*)
