Divonis Bersalah Aniaya Siswi SMA di Klungkung, Mata Kepsek Made Suberata Berkaca-Kaca

Mata I Gusti Made Suberata (58) tampak berkaca-kaca seusai menjalani sidang tipiring di Pengadilan Negeri (PN) Semarapura, Klungkung, Kamis (4/7).

Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Eka Mita Suputra
Gusti Suberata dan Ni Komang Putri bersalaman seusai sidang tipiring di PN Semarapura, Kamis (4/7/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, KLUNGKUNG - Mata I Gusti Made Suberata (58) tampak berkaca-kaca seusai menjalani sidang tipiring di Pengadilan Negeri (PN) Semarapura, Klungkung, Kamis (4/7).

Kepala SMA Saraswati Klungkung tersebut divonis bersalah oleh majelis hakim karena melakukan penganiayaan ringan terhadap siswinya, Ni Komang Putri (18), warga Banjar Tojan Kaler, Desa Tojan, Klungkung

Persidangan yang dipimpin Ketua PN Semarapura Ayun Kristiyanto, dimulai sekitar pukul 10.00 Wita.

Terdakwa hadir menggenakan pakaian adat, didampingi penasehat hukumnya I Wayan Suniarta.

Sementara korban Komang Putri hadir didampingi seluruh anggota keluarganya.

Hakim tunggal Ayun Kristiyanto dalam vonisnya menyatakan Gusti Suberata bersalah telah melakukan penganiayaan terhadap Komang Putri dan diganjar hukuman selama satu bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan.

Dengan vonis itu, Gusti Suberata pun tidak perlu menjalani hukuman penjara.

Hanya saja Kepsek SMA Saraswati Klungkung ini diperingatkan agar tidak lagi melakukan hal serupa dan harus menjaga sikap seperti tidak menghina dan berkata kasar di sekolah.

"Terdakwa sudah seharusnya menjaga sikap sebagai pendidik. Jika menghina atau melontarkan kata kasar, maka dapat menjalani hukuman penjara satu bulan,“ ujar hakim  Ayun Kristiyanto dalam sidang.

Putusan hakim tersebut menimbang berdasarkan bukti visum, keterangan saksi maupun terdakwa.

Terlebih terdakwa mengakui kesalahannya karena sempat memegang rambut, menekan kepala, dan menepuk punggung korban sehingga merasa sakit.

Perbuatan yang dilakukan terdakwa, dinilai ada unsur penganiayaan ringan sesuai pasal 352 ayat 1.

"Sakit itu tidak harus menderita sakit fisik dan batin. Mereka nyaman juga merasa sakit, sehingga unsur penganiayaan ringan mengakibatkan saksi korban sakit terpenuhi secara hukum," tegas Ayun.

Yang memberatkan, perbuatan terdakwa dianggap meresahkan masyarakat.

Selain itu, terdakwa yang seorang guru seyogyanya dapat menahan diri. Sedangkan yang meringankan, terdakwa telah berdamai dengan korban, dan menyadari kesalahannya.

"Apa yang dilakukan terdakwa, bukan ada unsur balas dendam.  Terdakwa tidak ada maksud menyakiti secara lahir maupun psikis terhadap saksi korban. Terdakwa hanya dinilai emosi sehingga hanya dihukum percobaan," jelas Ayun.

Sebelum menutup sidang, hakim Ayun Kristiyanto sempat menanyakan kepada korban maupun terdakwa terhadap putusan yang diberikan. Keduanya saat itu menerimanya putusan dengan ikhlas.

Begitu pula dari pihak penuntut dari Polres Klungkung, Ipda Agus Spriyanto juga menerima putusan hakim tersebut.

Bahkan sebelum meninggalkan ruang sidang, hakim Ayun menyarankan keduanya kembali bersalaman sebagai bentuk perdamaian.

Ketika itu, korban Komang Putri yang menggenakan kemeja pink, tampak menghampiri Gusti Suberata dan keduanya lalu bersalaman.

Seusai sidang, keluarga korban tidak berkomentar banyak terkait hasil putusan. Mereka hanya menegaskan menerima putusan tersebut.

"Kami menerima," ungkap kakak korban, Predi Astika, dan langsung meninggalkan ruang sidang.

Sementara Gusti Suberata juga enggan berkomentar terkait putusan tersebut.

Ia tampak keluar dengan mata yang berkaca-kaca.

Sesalkan Sikap PGRI

Di sisi lain, penasehat hukum terdakwa I Wayan Suniarta, menyesalkan sikap PGRI Klungkung yang terkesan lepas tangan dengan kasus yang menimpa Gusti Suberata.

Padahal PGRI harusnya menjadi garda depan ketika ada guru yang terkena kasus hukum yang erat kaitanya dengan dunia pendidikan.

"Itu juga yang disesalkan terdakwa. Jangankan hadir dalam persidangan, berkomunikasi saja PGRI Klungkung belum ada pasca ada kasus seperti ini. Terdakwa seorang diri selama proses menghadapi perkara ini," ungkap Suniarta.

Seharusnya PGRI sebagai organisasi profesi, kata dia, memberikan pendampingan kepada guru yang sedang dalam perkara hukum.

"Semoga tidak ada lagi kasus seperti ini. Tidak ada lagi guru yang terkesan dikriminalisasi," ungkapnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved