Kisah Pilu Wanita di Jembrana, Suami Kawin Lagi Tanpa Restu & Bawa Istri Tinggal di Pekarangan Rumah

AKS menahan perih di hati karena suaminya, KG (47) menikah secara adat Bali dengan perempuan lain, PS (46) tanpa izin atau persetujuannya.

Penulis: I Made Ardhiangga Ismayana | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Made Ardhiangga Ismaya
SIDANG - Kedua terdakwa saat mengikuti persidangan di  Pengadilan Negeri Negara, Senin (8/7/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, JEMBRANA -- Dia tahu mereka tinggal satu atap di rumah mertuanya, yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya.

KISAH pilu diungkapkan AKS,  warga Banjar Samblong, Desa Yehsumbul, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana.

AKS menahan perih di hati  karena suaminya, KG (47) menikah secara adat Bali dengan perempuan lain, PS (46) tanpa izin atau persetujuannya.

KG dan PS tinggal bersama dalam satu pekarangan rumah dengan AKS. 

Baca: Dikaruniai Bayi Kembar, Ratna Galih Ungkapkan Kegugupannya Saat Jalani Operasi Caesar

AKS pun melaporkan pernikahan tanpa izinnya itu ke polisi hingga berujung meja hijau.

Pasutri (pasangan suami istri) KG dan PS pun ditahan di Rutan Kelas II B Negara.

Kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Negara, Senin (8/7) dengan agenda keterangan saksi.

AKS mengaku masih terikat tali perkawinan yang sah dengan KG.

Tanpa izinnya, sang suami menikah lagi secara adat Bali dengan PS pada Agustus 2018. 

Dia mengetahui mereka tinggal satu atap di rumah mertuanya, yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahnya.

"Saya baru tahu sejak dibawa ke rumah Agustus 2018 lalu. Sudah hampir setahun tinggal bersama-sama," kata AKS kepada Ketua Majelis Hakim Haryuning Respanti.

Baca: PPDB SMA 2019 di Jembrana, SMA/SMK Swasta Terancam Tidak Dapat Rombel

AKS menuturkan, dia menikah dengan KG tahun 2000  dan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini beranjak dewasa.

Meski ia mengaku tidak memiliki akta pernikahan dengan KG, namun masuk dalam KK. Pernikahannya sah di hadapan pemimpin agama dan memiliki surat sah dari desa.

"Saya tidak pernah memberi izin. Saat pulang saya tanya, ngomongnya sudah nikah lagi. Saya sangat marah. Tapi saya tidak mau cari ribut, kasihan sama mertua sudah tua," jelasnya.

KG dan PS dinikahkan secara adat oleh LPS, bibi KG yang tinggal di Yehsumbul, tak jauh dari rumah AKS.

Keduanya dinikahkan dengan banten Bayokala sehingga hubungan mereka tidak kotor.

Setelahnya,  KG dan PS menuju merajan dadia (keluarga) milik KG untuk maturanpiuning (meminta izin dan berdoa kepada leluhur).

"Saya didatangi sama dia (KG). Kan dia sepupu saya. Terus ngomong mau ambil istri (nikah lagi). Saya tanya, sudah minta izin. Katanya waktu itu, sudah minta izin," jelas LPS.

Setelah menikah, menurut LPS, keduanya pergi ke Buleleng untuk memetik cengkeh.

Dia mengakui, tidak memastikan lagi  kebenaran pengakuan KG bahwa dia sudah mendapat restu dari istri pertamanya.

"Iya saya tidak sempat ngomong ke istrinya. Kan itu ponakan saya. Jadi saya percaya saja. Sekarang tahu kalau belum minta izin," kata LPS.

Saksi ahli pernikahan yang juga Ketua PHDI Jembrana, I Komang Arsana menyatakan,  pernikahan antara KG dan PS sah.

Baca: Rakor dengan Gubernur, Wabup Kembang Ajukan Solusi Jangka Pendek dan Panjang Pembangunan Jembrana

Perkawinan sah apabila ada tiga persaksian, yakni Dewa Saksi, Bhuta Saksi dan Manusa Saksi.

Keduanya, sudah melakukan Dewa Saksi yakni meminta izin kepada Tuhan YME supaya bisa melakukan hubungan atau tinggal laiknya suami istri yang sah.

"Kalau pernikahannya karena sudah menggelar Dewa Saksi, maka sah," tegasnya.

Hanya saja, lanjut Arsana,  dalam perkawinan lebih dari satu bisa dilakukan ketika istri atau suami sakit keras, istri tidak bisa memberikan keturunan dan yang ketiga mendapat persetujuan dari istri pertama. 

Persetujuan oleh istri ini pun lebih kuat ketika dituangkan dalam tulisan.

"Kalau tidak ada izin itu pelanggaran," tegasnya.

Kasus ini masuk  ranah hukum setelah AKS melaporkan ke polisi.

Dalam sidang dakwaan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), I Gede Gatot Hariawan mengatakan, KG menikahi PS pada Agustus 2018 lalu.

Pernikahan berlangsung di Banjar Kebebeng, Desa Mendoyo Dangin Tukad, Kecamatan Mendoyo.

Terdakwa terjerat pidana umum pasal 279 ayat 1 KUHP tentang perkawinan.

Terdakwa KG mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu.

"Terdakwa melakukan perkawinan padahal masih terikat tali pernikahan dengan istri sahnya," kata Gatot.

Dalam dakwaan terungkap bahwa terdakwa KG dan PS masih memiliki hubungan saudara dan mereka saling jatuh cinta.

Gayung bersambut, PS merupakan janda sejak tahun 2017.  KG mengaku ke PS bahwa ia sudah mendapat persetujuan dari istri pertamanya, AKS.

"Terdakwa KG mengajak terdakwa PS untuk melakukan pernikahan pada bulan Agustus 2018 dengan mengaku sudah mendapat izin dari saksi (istrinya)," ungkapnya.

Gatot menjelaskan, untuk terdakwa PS dijerat dengan pasal yang sama namun berbeda poin atau poin kedua dalam pasal itu, yang menyebut bahwa barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.

"Terdakwa mengetahui sesuai surat sah pada 15 Maret 2019 bahwa terdakwa KG belum resmi bercerai dengan istrinya. Ancaman bagi keduanya 7 tahun penjara," kata Gatot.

Sidang kasus pernikahan tanpa izin ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Haryuning Respanti dengan hakim anggota Mohammad Hasanuddin Hefni dan Fakhrudin Said Ngaji.  (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved