Supported Content
Dr Frans Bambang Siswanto Pemimpin yang Idealis dan Nasional di Mata Sahabat dan Masyarakat Bali
Dr Frans Bambang Siswanto Pemimpin yang Idealis dan Nasional di Mata Sahabat dan Masyarakat Bali
Penulis: Meika Pestaria Tumanggor | Editor: Aloisius H Manggol
Dikalangan sahabat dan kerabat, Pak Frans juga dikenal menjunjung tinggi Budaya Bali.
"Ditengah maraknya pembangunan di bidang properti, beliau memilih membangun Taman Bhagawan pada tahun 2013 dan Puri Bhagawan pada tahun 2016. Selain itu, coba kita perhatikan rumah pak Frans, sangat kental dengan budaya Bali, bahkan konsep Tri Hita Karana kita temukan di sini (kediaman pak Frans)," ujar Sudiarta Indrajaya.
Karya yang telah banyak dinikmati orang lain, membuat Pak Frans masih ingin membantu dan membahagiakan banyak orang.
"Pak Frans ini cita-citanya Berbagi membahagiakan orang. Cita-cita mulia yang beliau pesankan kepada kami untuk di wujudkan adalah ingin menyehatkan masyarakat dan mendidik karakter masyarakat lewat INTI Klub Bali Sehat (IKBS) dengan kegiatan senam AWS3 dan upaya mensejahterakan masyarakat dengan Mendirikan Koperasi digital BEN MAKMUR yang beliau dan team deklarasikan tanggal 1 Agustus 2019 di Kediaman Beliau di Jalan Hayam Wuruk, sehari menjelang keberangkatan beliau ke Kuala Lumpur," kenang Sudiarta Indrajaya.
Sebagai sosok yang memiliki prinsip yang kuat berlandaskan kebenaran dan tujuan hidup yang jelas. Pak Frans selalu bersikap jujur, tanggung jawab, disiplin, tidak mudah terpengaruh orang. Yang terpenting dilakukan dalam bertindak adalah fokus pada tujuan.
"Karakter itu sangat melekat dalam diri Pak Frans. Dengan karakter yang kita memiliki, waktu akan membentuk diri kita. Dan terakhir beliau bilang, siapapun kita harus punya hati, punya kepedulian, harus bisa dipercaya dan mempercayai orang," kata Sudiarta Indrajaya.
Wayan Windia yang merupakan Ketua Umum Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Bali juga sangat dekat dengan sosok Pak Frans.
Windia sempat bertemu Pak Frans pada Kamis Malam (1/8/2019) dalam sebuah pesta kebun, yang digelar di rumah Pak Frans di Jalan Hayam Huruk, Denpasar. "Pak Frans dan istrinya Prof. Suli tampak sangat sumringah, kangen, dan mesra," kata Windia.
Windia menceritakan, setelah selesai pesta kebun, ia sempat menjabat tangan Pak Frans, dan menanyakan kabarnya. Pak Frans mengatakan ia dalam kondisi baik-baik saja. Tetapi temannya dokter ahli jantung menyarankan untuk operasi klep jantung.
"Tetapi tampaknya Tuhan berkehendak lain. Pak Frans dipanggil Tuhan secara mendadak, mungkin untuk melanjutkan kewajiban kebajikan di Sorga. Kewajiban kebajikan yang dilakukan beliau di dunia fana sudah dikenal luas di masyarakat," kata Windia.
Windia juga mengenal Pak Frans bukan sebagai seseorang yang suka berfoya-foya, meski Pak Frans termasuk orang kaya.
"Pada suatu ketika saya diundang makan siang di rumahnya yang anggun itu. Ketika saya mengambil nasi, ada terjatuh beberapa butir nasi di meja. Pak Frans dengan cekatan mengambilnya. Saya mengira akan dibuang di tempat sampah, atau ditaruh di piring nasi saya. Ternyata tidak. Nasi itu segera dimakannya. Beliau sama sekali tidak menoleh saya, sebagai pertanda marah. Kalem saja, dan segera duduk di meja makan, lalu mengambilkan lauk-pauk untuk piring saya," kata Windia.
"Wah saya malu setengah mati. Ketika saya berkomentar terhadap peristiwa nasi itu, Pak Frans dengan kalem mengatakan, ya, kalau sekian butir kali sekian juta orang, berapa ton nasi itu hilang percuma. Mungkin Pak Frans ingin memberi tahu saya, bahwa hidup ini harus prihatin, tetapi tidak boleh kikir," kata Windia melanjutkan.
Sikap hidup Pak Frans lainnya yang membuat Windia tersentuh adalah hidup memiliki nilai.
"Kata Pak Frans, hidup ini hanya sekali, dan untuk itu harus bernilai," kata Windia.