‘Generasi Rangda’ di Lodtunduh Ubud, Agus Permana: Berserah pada Ida Bhatara Sesuhunan
Agus Permana menuturkan, selama pentas dirinya berserah pada Ida Bhatara Sesuhunan, selalu menjernihkan pikiran, dan mengontrol emosi
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - PANDE Putu Agus Permana, baru berusia masih 19 tahun saat ia mendatangi rumah Pak Sukra, yang merupakan anak dari maestro Tari Rangda, I Wayan Rarem, di Banjar Tengah, Desa Peliatan, Ubud.
Ketika itu, Agus Permana, merupakan satu-satunya anak muda Banjar Abiansemal atau Desa Pakraman Lodtunduh pada umumnya, yang memilih menekuni tarian sakral, Rangda.
Seiring berjalannya waktu, hal tersebut akhirnya merangsang minat generasi muda setempat untuk ikut mempelajari tarian rangda.
Saat ini, seniman muda penekun Tari Rangda sekaligus barong di Desa Lontunduh sudah mencapai delapan orang.
Karena itu, setiap Ida Bhatara Sesuhunan mesolah, krama tidak kesulitan lagi mencari pengayah Tari Rangda, terutama yang sudah mewinten.
Bahkan dalam prosesi pawintenan para pengayah sesuhunan ini, dilakukan oleh Desa Pakraman Lodtunduh, yang disaksikan krama.
Pande Putu Agus Permana (31), Rabu (21/8/2019) mengatakan, saat dirinya baru pertama belajar Tari Rangda, jumlah generasi muda yang menekuni tarian ini sangat minim.
Bahkan di Desa Lodtunduh, hanya dirinya, satu-satunya penekun tarian rangda. Padahal di desanya memiliki sesuhunan rangda.
Namun seiring berjalannya waktu, sejumlah anak muda di desanya akhirnya tertarik menekuni kesenian ini.
“Awalnya saya satu-satunya di desa ini yang belajar Tari Rangda, tapi sekarang sudah banyak yang ikut belajar. Ketertarikan itu didorong niat ngayah pada Ida Bhatara,” ujarnya.
Mengingat potensi penari rangda yang dimiliki desanya, Agus Permana bersama sejumlah temannya, menyampaikan aspirasi kepada Jro Bendesa setempat, untuk menggunakan jasa mereka dalam setiap pementasan Ida Bhatara Sesuhunan.
Agus pun bersyukur, aspirasi tersebut disambut positif. Bahkan untuk upacara pawintenan atau penyucian para penari, diprakarsai langsung oleh desa adat.
“Awalnya hanya sekadar obrolan di warung kopi. Lalu kami beranikan usul ke bendesa, lalu disetujui,” ujarnya.
Agus mengatakan, meskipun Tari Rangda identik dengan magis, namun dirinya sama sekali tidak mau menyentuh hal-hal yang berbau magis.
Setiap pementasan, ia hanya berserah pada Ida Bhatara Sesuhunan.
“Saya tidak mempelajari ilmu hitam, apalagi membawa jimat. Karena itu justru akan mengundang hal-hal yang negatif. Selama pentas, saya hanya berserah pada Ida Bhatara Sesuhunan, selalu menjernihkan pikiran, dan mengontrol emosi,” ujarnya. (*)