Anggota Polda Bali Ditembak Teroris di Poso, Minta ke Bali Saat Kondisi Memburuk, Kaki Diamputasi

Anggota Polda Bali Ditembak Teroris di Poso, Minta ke Bali Saat Kondisi Memburuk, Kaki Diamputasi

Ilustrasi ditembak 

TRIBUN BALI.COM, DENPASAR - Menjadi seorang prajurit Bhayangkara yang siap ditugaskan kemana saja adalah sebuah kewajiban.

Salah satunya, Aipda Andrew Maha Putra.

Dirinya harus siap dengan penugasan yang ia terima dari atasan demi mempertahankan NKRI.

Saat bertugas di Satuan Brimob Polda Sulawesi Tengah (Sulteng), ia ditunjuk menjadi anggota Satgas Operasi Tinombala bergabung dengan TNI untuk menangkap kelompok teroris Santoso. 

Aipda Andrew Maha Putra.
Aipda Andrew Maha Putra.

Menjadi anggota Satgas pengamanan bukanlah tugas yang ringan.

Ia pun menjadi korban penembakan oleh kelompok Santoso di perbukitan wilayah Salogose, Sausu, Sulteng pada 31 Desember 2018. 

Akibat tembakan tersebut, Aipda Andrew Maha Putra, yang saat ini bertugas di Poliklinik Biddokkes Polda Bali harus kehilangan kaki kanannya setelah diamputasi.

Saat ditemui Tribun Bali, Aipda Andrew menceritakan pengalaman hidupnya sejak menjadi anggota Polri.

Suami Ni Luh Maharini ini adalah anggota Brimob lulusan Diktukba Polri Gelombang I tahun 2005. 

Usai mengikuti pendidikan di Watukosek Jawa Timur, pria asal Desa Banyuning Singaraja ini bertugas di Resimen Brimob Klapa Dua, Depok, Jawab Barat. 

Aipda Andrew Maha Putra.
Aipda Andrew Maha Putra. ()

Kemudian pada April 2006, Aipda Andrew pindah tugas menjadi anggota organik Sat Brimob Polda Sulteng dan diikutkan pada Operasi Tinombala. 

“Saat tugas di Intelmob Satgas Operasi Tinombala, punggung dan kaki saya kena tembak,” kata Aipda Andrew di Polda Bali, Senin (18/11/2019). 

Dijelaskannya, peristiwa penembakan itu berawal dari informasi masyarakat yang melaporkan adanya penemuan kepala manusia tanpa badan pada Minggu (30/12/2018) sekitar pukul 14.00 Wita. 

Informasi tersebut kemudian dilaporkan ke Kasat Brimob Polda Sulteng, Kombes Pol. Susnadi.

“Saat itu Kasat Brimob memerintahkan kepada kami untuk memastikan kebenaran informasi tersebut,” imbuh anak pertama dari pasangan Alm. Kompol (Purn) I Gede Ngurah Sugandhi, dan Mince Lembang.

Aipda Andrew Maha Putra
Aipda Andrew Maha Putra ()

Sesuai perintah Kasat Brimob, sekitar pukul 19.30 Wita, satu regu berjumlah 10 orang berangkat naik ke perbukitan  mengecek lokasi penemuan kepala dan melakukan penyisiran untuk mencari badan orang tersebut.

Pencarian yang dilakukan sampai larut malam akhirnya membuahkan hasil.

Badan korban ditemukan di pinggir sungai tidak jauh dari lokasi penemuan kepala. 

Selanjutnya pada Senin 31 Desember 2018 sekira pukul 07.00 Wita, tim turun kembali membawa mayat korban dengan menggunakan kendaraan.

Saat kembali, Aipda Andrew selaku Komandan Regu (Danru) ditemani Bripda Baso berangkat lebih awal mengecek situasi mengendarai sepeda motor.

“Saat mengecek situasi itu, ditemukan ada kayu melintang di jalan. Saya bersama Bripda Baso menyingkirkan kayu tersebut agar tim yang membawa mayat bisa lewat. Baru mau melanjutkan perjalanan, tiba-tiba ada 4 kali suara tembakan dari arah perbukitan,” paparnya.

Penembakan yang terjadi sekitar pukul 08.00 Wita itu mengenai bagian punggung atas kiri Aipda Andrew. 

Meskipun darah mengalir ditubuhnya, ia masih sempat melakukan perlawanan. 

Bripda Baso pun tertembak, Aipda Andrew yang juga dalam kondisi tertembak berusaha memberikan pertolongan untuk menyelamatkan Bripda Baso. 

“Nah saat memberikan pertolongan tersebut betis kaki kanan saya kena tembak. Berselang 30 menit, 8 orang anggota yang membawa mayat tiba dan langsung memberikan bantuan. Saat itu juga tidak ada suara tembakan dari perbukitan,” jelasnya.

Aipda Andrew dan Bripda Baso langsung dievakuasi ke mobil patroli.

Sempat dibawa ke Puskesmas Sausu, tetapi karena kondisi luka yang cukup parah akhirnya dibawa ke RS Bhayangkara Palu yang ditempuh selama 9 jam. 

Tiba di RS Bhayangkara Palu, kami langsung mendapat penanganan medis oleh dokter. 

“Sempat dirawat selama 5 hari di ICU, kondisi saya justru semakin memburuk dan akhirnya saya sendiri meminta untuk dirujuk ke RS Sanglah, Denpasar,” imbuh Aipda Andrew.

“Kenapa saya meminta dirujuk ke RS Sanglah? Bayangan saya waktu itu pasti akan mati. Kalau mati di RS Sanglah, setidaknya saya tidak menyusahkan keluarga. Syukur saya bisa melewati cobaan tersebut,” sambungnya.

Dokter di RS Sanglah menilai bahwa luka tembak di kaki Aipda Andrew sudah infeksi. Apabila tidak diamputasi akan menyebabkan kematian karena sudah tidak ada aliran darah ke kaki bagian bawah. 

“Saya langsung shock dan sedih mendengar penjelasan dokter. Saat itu juga saya bersama keluarga memutuskan dan menyetujui dilakukan operasi amputasi di atas lutut tanggal 17 Januari 2019. Saya sudah dioperasi sebanyak 8 kali untuk mengangkat serpihan peluru,” tuturnya.

Semangat hidup Aipda Andrew datang dari istri dan ketiga anaknya, Putu Ayu Rania Putri (5), Made Ngurah Satya Putra (3) dan Ngurah Arya Wiguna (7 bulan).

Ia tetap semangat melaksanakan tugas meskipun menggunakan kaki palsu. 

“Saya berjalan harus pelan-pelan. Akibat kaki dipotong di atas lutut maka saya jalan harus menggunakan pinggul,” ungkapnya.

Ia mengaku bahwa kaki palsu yang digunakannya sangat tidak nyaman sehingga sering merasa nyeri. Rasa nyeri itu dirasakan setiap hari sehingga mengganggu waktu tidurnya. 

“Saya berharap rasa sakit ini segera hilang. Saya juga mohon dukungan dan perhatian dari pimpinan agar lebih semangat melaksanakan tugas sehari-hari. Saya menjadi tulang punggung di keluarga, istri juga belum bekerja sejak saya pindah ke Bali,” tambahnya.

Akhir Petualangan Santoso di Hutan Belantara Poso

Selama 1,5 tahun diburu, pimpinan kelompok teroris di Poso, Santoso alias tewas dengan timah panas bersarang di tubuhnya dalam baku tembak di daerah Pesisir Utara Poso, Sulawesi Tengah.

Kontak senjata nan mencekam pada Senin (18/7/2016) petang, terjadi selama 30 menit.

Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian ketika itu memastikan bahwa jenazah yang ditemukan di hutan belantara itu 100 persen adalah Santoso.

Dia tewas bersama Muchtar, anak buahnya.

Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri menyebutkan, sejumlah ciri fisik pada jenazah itu identik dengan Santoso.

Salah satunya yakni tanda tahi lalat di dahinya.

Tanda tahi lalat pada jenazah itu berukuran 0,7 sentimeter, persis seperti ukuran tahi lalat milik Santoso.

Selain itu, ada pula bekas luka tembak di bagian paha yang bersarang pada 2007 lalu.

Sidik jari jenazah tersebut pun identik dengan milik Santoso.

"Informasi yang saya dapat, sidik jarinya identik dengan sidik jari dia (Santoso) yang kami punya. Sudah bisa kami simpulkan 100 persen yang bersangkutan Santoso," ujar Tito.

Namun, masih ada satu tes yang belum dijalani, yakni tes DNA.

Polisi akan mengambil sampel DNA itu dari anak Santoso.

Penguasa Gunung Biru

Selama persembunyiannya, Santoso diketahui menguasai kawasan Gunung Biru di Kecamatan Tangkura, Kabupaten Poso.

Pegunungan tersebut merupakan hamparan hutan belantara yang luas dan berbukit-bukit.

Medan yang dilalui untuk bisa masuk ke sana saja sulit.

Di sana pula Santoso melatih kemampuan menembak para anggotanya.

Menurut Tito, mencari Santoso ibarat mencari jarum di tumpukan jerami.

Wajar saja Satuan Tugas Tinombala yang terdiri dari gabungan personil Polri dan TNI membutuhkan waktu cukup lama untuk memburu kelompok ini.

Santoso mampu merekrut puluhan orang untuk bergabung di kelompoknya.

Tak hanya orang Indonesia, tapi juga bangsa Uighur.

Bahkan, ada warga di kaki Gunung Biru yang menjadi simpatisan kelompok ini.

Mereka diam-diam memasok makanan dan logistik.

Kelompok teroris lain seperti Mujahidin Indonesia Barat pun terafiliasi dengan kelompok ini.

Berganti-ganti Sandi Operasi

Operasi pengejaran kelompok Santoso sempat berkali-kali berganti sandi.

Mulanya operasi pengejaran itu dinamakan "Camar Maleo".

Camar Maleo I dimulai pada 26 Januari 2015 hingga 26 Maret 2015.

Kemudian dilanjutkan dengan sandi Camar Maleo II hingga 7 Juni 2015.

Sandi berganti lagi menjadi Camar Maleo III yang dimulai sejak 9 September 2015 itu.

Camar Maleo IV berlangsung setelah itu dan berakhir 9 Januari 2016.

Setelah itu, sandi Camar Maleo tak lagi digunakan, berganti operasi Tinombala.

Operasi dengan sandi baru ini dimulai sejak 10 Januari 2016 dan berakhir 8 Mei 2016 lalu dan diperpanjang hingga 8 Agustus 2016.

Setelah dievaluasi, tim gabungan merombak beberapa personil mereka dengan orang-orang baru dan mengganti strategi.

Muncul Friksi

Satu per satu anggota kelompok Santoso berhasil ditangkap dan juga menyerahkan diri.

Sebagian alasannya karena mereka kelaparan akibat diputusnya pasokan logistik.

Di sisi lain, ternyata ada gesekan di internal.

Ada kecemburuan sosial dari para anggota terhadap Santoso yang mengistimewakan keluarganya.

Anggota keberatan dengan perintah Santoso untuk melindungi keluarganya dan memperlakukan istrinya secara khusus.

Operasi Belum Berakhir

Tewasnya Santoso tak berarti operasi Tinombala berakhir.

Setidaknya 19 anggota kelompok tersebut masih berkeliaran di hutan belantara Poso, termasuk istri Santoso.

Bahkan, kelompok ini memiliki "panglima" cadangan yang diduga kuat akan menggantikan Santoso memimpin kelompok.

Mereka adalah Basri dan Ali Kalora, dua orang kepercayaan Santoso.

Basri disebut memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan Santoso.

Sementara Ali Kalora dianggap tak memiliki kemampuan, kompetensi, dan kepemimpinan layaknya Basri dan Santoso.

Kedekatan mereka lantaran kesamaan nasib sebagai orang-orang yang terjebak dalam konflik Poso. B

Basri dan istri Santoso akhirnya ditangkap kepolisian.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved