Sidak TPA Suwung
Sidak TPA Suwung, Forum Komunikasi Peduli Lingkungan Bali Angkat Bicara
FKPL sendiri sempat mengkritisi sengkarut permasalahan pengelolaan sampah di Bali
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sidak oleh puluhan prajuru Banjar Adat Pesanggaran dan Suwung Batan Kendal Denpasar, Bali di TPA Suwung pada Minggu (24/11/2019) mendapat apresiasi dari Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKPL) Bali.
FKPL merupakan organisasi gabungan peduli lingkungan yang terdiri dari Trash Hero Indonesia, PPLH Bali, Griya Luhu, Yayasan Tukad Bindu, Yayasan Lengis Hijau dan berbagai bank sampah di Bali.
FKPL sendiri sempat mengkritisi sengkarut permasalahan pengelolaan sampah di Bali, sejak daya tampung TPA Suwung sudah sangat overload dan darurat akhir-akhir ini.
Kondisi ini terjadi karena pemerintah dinilai tak memiliki keseriusan dan solusi yang kongkret atas permasalahan sampah.
Juru Bicara FKPL, Ida Bagus Mandhara Brasika, permasalahan sampah sebenarnya sederhana saja, terletak pada pola hidup pada masyarakat itu sendiri dalam memandang sampah.
Sorotan pengelolaan sampah di Bali masih saja selalu berujung di hilir atau tepatnya di TPA.
Karena pemahaman dan konsep yang berkembang tentang TPA adalah 'Tempat Pembuangan Akhir', bukan sebagai “Tempat Pemrosesan Akhir”.
Seberapapun luas lahan yang disediakan untuk TPA tidak akan pernah cukup atau bertahan lama karena permasalahan di hulu hampir tidak pernah diselesaikan.
''Bukan hanya soal sampah, bukan soal uang dan anggaran pengelolaan. Harusnya yang ditata kan di level pola budaya masyarakat dulu,'' ungkapnya dikonfirmasi, Minggu (24/11/2019).
Pemprov Bali sendiri juga mengapresiasi langkah Gubernur yang mengeluarkan Pergub No 47/2019 tentang Pemilahan Sampah di Tingkat Rumah Tangga.
Namun itu dirasa belum cukup, karena sifat Pergub hanya sebagai imbauan saja karena tidak ada sanksi dan ketegasan berarti.
Hingga akhirnya, warga terdampak TPA Suwung sendiri sampai bergerak melakukan sidak karena pemerintah dinilai lamban dan tidak serius.
Apalagi dalam hal ini, kata dia, warga terdampak sendiri menemukan adanya indikasi pelanggaran dari Pemda Badung terkait perjanjian kerjasama membuang sampah di TPA Suwung.
Dalam perjanjian yang diteken, Pemda Badung hanya diperbolehkan mengirim sampah zebanyak 15 truk per harinya selama sebulan.
Namun dalam kenyataannya, jumlah produksi sampah yang dikirim melampau batas terbukti dengan adanya sidak warga sekitar hari ini.
Bagi FKPL, ini menjadi bukti bahwa masih ada ketidaksepahaman antara Pemprov dengan Pemda, khususnya Badung, bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal TPA.
''Selama ini yang dipikir cuman solusi jangka pendek saja. Mengadakan TPA lagi. Kan gak selesai-selesai,'' katanya.
Jalam terbaik memang dalam pengelolaan sampah ini harus berjalan secara kompleks dan melibatkan masyarakat secara bertahap untuk melakukan pemilahan sampah hingga di tingkt rumah tangga, minimal tingkat desa.
''Pemilahan sampah dari sumbernya, di tingkat rumah tangga ini juga sejalan dengan Pergub baru No 47/2019,'' imbuhnya.
Lebih lanjut, FKPL sendiri berencana melakukan Forum Group Discussion (FGD) mellibatkan pemerintah dan kepala desa ae Bali pada Desember-Januari mendatang.
''Kita samakan persepsi soal sampah. Kita undang bendesa adat nanti akan dibuatkan skema pengolahan sampah yang optimal, semacam guideline. Membudayakan pemilahan sampah di sumbernya langsung,'' terangnya.
''Jadi gak tergantung menganalkan TPA saja,'' tegasnya.
FKPL sendiri mengajak masyarakat untuk mulai mengurangi dan bahkan sama sekali tidak memakai bahan yang sekali pakai, seperti gelas plastik, kertas, plastik singkong atau bioplastik.
Bahan-bahan ini, kata dia diharapkan diganti dengan yang bisa digunakan berkali-kali.
Walaupun misalnya tetap menggunakan yang sekali pakai, masyarakat diharapkan menggunakan bahan organik yang sesungguhnya seperti daun, bambu.
Dirinci olehnya, selama ini timbulan sampah di Bali sangat besar, bisa mencapai antara 5.000 hingga 10.000 ton per hari.
Dari jumlah tersebut, 60 sampai 70 persen adalah sampah organik, 20 hingga 30 persen yang non-organik yang layak daur ulang serta 10 persen sisanya adalah residu.
Sampah organik yang sebesar 60 hingga 70 persen ini, diharapkan bisa selesai di level rumah tangga atau paling buruk di tingkat desa.
Kemudian untuk sampah nonorganik yang sebesar 20 sampai 30 persen yang layak didaur ulang diharapkan bisa diproses melalui bank sampah, tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) atau pengepul sampah.
"Jadi hanya 10 persen yang boleh diangkut ke TPA oleh pemerintah ataupun swasta. Jadi hanya residu itu utamanya. Dengan begitu TPA enggak akan terbebani,'' jelasnya.
Jika nantinya 10 persen sampah atau sekitar 500 sampai 1.000 ton per hari, diyakini TPA sudah cukup kuat untuk menampung sampah tersebut.