Banding Ditolak, Pengadilan Tinggi Denpasar Vonis AA Ngurah Alit Wiraputra 3 Tahun Penjara
Banding Ditolak, Pengadilan Tinggi Denpasar Vonis AA Ngurah Alit Wiraputra 3 Tahun Penjara
Penulis: Putu Candra | Editor: Aloisius H Manggol
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Upaya hukum banding yang diajukan AA Ngurah Alit Wiraputra (50) kandas, pasca Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar menolaknya. Justru PT Denpasar menaikan putusan terhadap mantan Ketua Kadin Bali ini dengan pidana penjara selama tiga tahun terkait penipuan terkait pengurusan perizinan pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa. Sebelumnya majelis hakim pada tingkat pertama yakni Pengadilan Negeri (PN) Denpasar menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Alit.
Dikonfirmasi, jaksa yang menangani perkara ini yakni Jaksa Paulus Agung membenarkan, bahwa PT Denpasar menaikan putusan kepada Alit Wiraputra menjadi tiga tahun. Bahkan, menurut informasi di kejaksaan, atas naiknya putusan itu pihak Alit Wiraputra bakal mengajukan upaya hukum kasasi. "Infonya dia (Alit Wiraputra) langsung mengajukan upaya hukum kasasi," jelasnya.
Kuasa hukum Alit Wiraputra yaitu Tedy Raharjo juga membenarkan PT Denpasar menaikan vonis menjadi tiga tahun terhadap kliennya. Menurutnya, putusan hakim PT Denpasar sangat subyektif. "Yang menjadi landasan hakim menaikan hukuman pertimbangannya agar ada rasa keadilan bagi masyarakat. Bagi saya rasa keadilan sangat subyektif sifatnya," jelasnya saat dikonfirmasi.
Untuk itu pihaknya akan mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Dalam memori kasasi saya akan menjelaskan, apakah dengan tidak ditetapkannya Sandoz, Candra Wijaya, Made Jayantara yang menerima uang sebagai tersangka, itu memenuhi rasa keadilan. Justru di sana letak ketidakadilan. Mestinya bersama-sama, ada permufakatan jahat disana. semua ini diatur," tegas Tedy.
Lebih lanjut dijelaskanya, perbuatan pidana dalam perkara ini tidak selesai. "Karena di sana ada perjanjian dan ada tenggang waktunya mengenai perizinan. Itu sudah diajukan oleh klien saya dan ada jawaban dari gubenur Bali (Made Mangku Pastika) belum dapat dikabulkan. Bukan berarti tidak dapat dikabulkan. Kenapa belum dikabulkan, karena belum ada survei untuk amdal dan sebagainya," papar Tedy.
Menurut Tedy, dari sana lah muncul pengambil alihan. Padahal saat diambil alih kliennya (Alit Wiraputra) telah lebih dulu bekerja. "Perbuatan pidana belum selesai, kecuali tidak dapat dikabulkan.
Itu kan perjanjian saling pengertian. Ketika batas waktu yang telah ditentukan selama enam bulan, maka salah satu ingkar janji lebih dari enam bulan apakah bukan namanya cidera janji. Ini kasus bukan pidana ini murni perdata, kalau hakim lebih jeli," ucapnya.
"Di persidangan Jayantara dan Sandoz mengaku menerima uang, kenapa hakim tidak menetapkan mereka sebagai tersangka. Apakah itu memenuhi rasa keadilan. Justru ini lah yang mencederai rasa keadilan klien saya. Bagi saya kasasi adalah jalan yang terbaik bagi klien saya," sambung Tedy.
Di pihak lain, kuasa hukum korban, Sutrisno Lukito dan Abdul Satar yakni Agus Sujoko putusan PT Denpasar terhadap Alit Wiraputra sudah sesuai harapannya. "Menurut saya putusan PT Denpasar sudah sesuai dengan harapan kami. Saya juga mendengar bahwa pekerjaan Alit belum tuntas. Tapi jangan lupa, dia pernah mengajukan gugatan wanprestasi terhadap klien kami. Jadi dia gugat perdata dan gugatannya tidak dapat diterima,"
"Di satu sisi dia menyebut pekerjaan belum tuntas, tapi di sisi lain dia menyatakan bahwa minta pembayaran. Jadi kekurangan Rp 14 miliar diminta. Artinya itu menunjukan bahwa sangat aneh dan putusan tiga tahun itu menurut saya sangat tepat," Imbuh Agus Sujoko.
Terkait pengajuan upaya kasasi yang akan ditempuh Alit, pihaknya mengatakan itu adalah hak daripada Alit. Agus Sujoko menegaskan akan menunggu putusan kasasi dari MA. Jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihaknya akan menempuh jalur hukum terhadap pihak-pihak yang belum mengembalikan uang kliennya. "Setelah ada putusan kasasi dari MA dan berkekuatan hukum tetap, kami akan melakukan upaya hukum terhadap orang-orang yang belum mengembalikan uang kepada klien kami. Yang sudah mengembalikan kan baru Made Jayantara, yang lainnya belum mengembalikan. termasuk Sandoz belum mengembalikan," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, majelis hakim PN Denpasar yang diketuai oleh Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi menjatuhkan putusan dua tahun penjara terhadap Alit Wiraputra. Majelis hakim dalam amar putusan menyatakan, bahwa terdakwa Alit Wiraputra terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP dalam dakwaan alternatif pertama.
"Mengadili, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Anak Agung Ngurah Alit Wiraputra dengan pidana penjara selama dua tahun, dikurangi selama terdakwa menjalani tahanan sementara. Dengan perintah, terdakwa tetap ditahan," tegas hakim Ida Ayu Nyoman Adnya Dewi.
Diungkap dalam surat dakwaan jaksa awal mula perkara ini, hingga Alit didudukan di kursi pesakitan sebagai terdakwa. Pada awal bulan Nopember 2011, Sutrisno Lukito bersama Abdul Satar datang ke Bali, bertujuan untuk investasi di proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa. Dalam proyek itu rencananya akan dibangun dermaga bersandar kapal, terminal penumpang internasional, terminal penumpang domestik. Juga marina center, tempat kapal pesiar ukuran kecil bersandar, hotel, pertokoan, pembangkit listrik kawasan Benoa, depo minyak dan pusat budaya.
"Saat itu Sutrisno Lukito menyuruh Candra Wijaya mencari informasi siapa orang yang bisa dihubungi untuk mengurus proses pengajuan perizinan proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa," terang Jaksa Raka Arimbawa kala itu.
Lalu Candra Wijaya menghubungi Made Jayantara dan menanyakan apakah bisa membantu Sutrisno Lukito mengurus perijinan tersebut. Kemudian Made Jayantara menghubungi terdakwa Alit (saat itu menjabat sebagai Ketua Kadin Bali) meminta bantuan supaya bertemu dengan Sutrisno Lukito, membantu mengurus ijin. Pula supaya bisa mempertemukan dengan Gubernur Bali saat itu.
Dalam percakapan itu, Made Jayantara kepada Alit mengatakan disuruh oleh Candra Wijaya sehubungan dengan Sutrisno Lukito akan berinfestasi reklamasi di Teluk Benoa. Dan Made Jayantara juga mengatakan disuruh mencari jalan agar bisa menghadap Gubernur Bali. Terhadap hal itu, terdakwa Alit mengatakan bisa.
"Saya bisa bli, karena saya adalah anak angkat Gubernur Bali dan saya sangat dekat dengan Gubernur Bali. Bahkan anaknya Gubernur Bali yang bernama Sandoz saja dititipkan ke saya," urai Jaksa Raka Arimbawa menirukan perkataan terdakwa Alit dalam surat dakwaan. Alit dalam percakapan dengan Made Jayantara juga menyanggupi, mempertemukan Sutrisno Lukito dengan Gubernur Bali yang pada saat itu menjabat.
Beberapa hari kemudian Made Jayantara mengenalkan Alit dengan Candra Wijaya di rumahnya. Berlanjut, pada tanggal 23 Nopember 2011 bertempat di Kantor HIPMI Bali di Sanur, Made Jayantara mempertemukan Candra Wijaya dengan Alit dan Sandoz. Tujuan pertemuan itu, kembali untuk membagi tugas dan peran masing-masing dalam pengurusan perizinan proyek tersebut.
Dalam pertemuan itu, Alit kembali menegaskan jika dirinya memiliki kemampuan mengurus perizinan proyek itu, karena dekat dengan tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, DPRD Propinsi. Serta dekat dan mengaku sebagai anak angkat Gubernur Bali. Juga pertemuan itu membahas rencana persiapan izin dan membahas draf surat kesepatakan saling pengertian tentang kerjasama pengurusan izin proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa.
"Hasil yang dicapai dalam pertemuan adalah disepakati terdakwa Alit sebagai orang yang mengurus proses perizinan proyek pengembangan kawasan Pelabuhan Benoa," papar Jaksa Raka Arimbawa.
Akhir Nopember 2011, Candra Wijaya dan Made Jayantara mengenalkan Alit dengan Sutrisno Lukito di Restoran Kopi Bali, Sanur. Mereka membicarakan kesepakatan pengurusan izin proyek pengembangan dan pembangunan kawasan Benoa. Di sana terjadi percakapan antara Alit dan Sutrisno Lukito. Sutrisno mengatakan mau berinvestasi reklamasi di Teluk Benoa sebesar Rp 3 Triliun. Juga mengatakan apakah terdakwa bisa mempertemukan dengan Gubernur Bali terkait keinginan berinvestasi.
Atas pertanyaan itu, Alit mengatakan bisa mempertemukan Sutrisno Lukito dengan Gubernur Bali. Alit kembali meyakinkan Sutrisno Lukito, jika dirinya adalah anak angkat gubernur. Dan sanggup membantu mengurus seluruh perizinan proyek pengembangan dan pembangunan kawasan Pelabuhan Benoa dalam waktu cepat.
"Untuk pengurusan izin proyek-proyek tersebut saya minta uang operasional dibayar di depan sebesar Rp 6 miliar dan sisannya Rp 24 miliar bisa dibayar bertahap dan dilunasi sesuai perjanjian," ucap Alit dalam percapakan di surat dakwaan.
Mendengar perkataan Alit yang menyanggupi mengurus izin, Sutrisno Lukito semakin yakin dan percaya. Sutrisno pun mengatakan, akan mengatur pertemuan kembali dengan Alit serta gubernur. Pula, akan disaksikan saksi serah dana operasional pengurusan izin proyek tersebut.
Pada tanggal 26 Januari 2012 di rumah Made Jayantara di Jalan Jayagiri XVII, Denpasar terjadi pertemuan antara Alit dan Sutrisno Lukito, disaksikan Candra Wijaya serta Made Jayantara. Dalam pertemuan itu, Alit meminta uang Rp 30 miliar untuk mengurus izin tersebut. Uang itu menurut Alit akan diserahkan ke instansi terkait untuk menerbitkan izin-izin pengembangan Pelabuhan Benoa.
Agar Sutrisno Lukito percaya, Alit juga meminta dibuatkan perjanjian hitam di atas putih. Dan konsekuensi logis dari kerjasama yang telah disepakati agar namanya dimasukan ke dalam saham di PT. Bangun Segitiga Mas sebesar 15 persen atau setara nilai uang Rp 50 miliar.
"Dengan kata-kata dari Alit, Sutrisno Lukito bertambah yakin dan percaya. Selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan saling pengertian tentang kerjasama tanggal 26 Januari 2012 yang ditandatangani oleh Sutrisno Lukito sebagai pihak pemberi dana dalam pengurusan izin dan terdakwa Alit, sebagai orang yang mengurus izin-izin proyek pengembangan dan pembangunan kawasan pelabuhan," urai Jaksa Raka Arimbawa.
Singkat cerita, setelah menandatangani surat kesepatakan saling pengertian itu, kemudian secara bertahap Sutrisno Lukito menyerahkan uang kepada terdakwa Alit. Total uang yang telah diterima Alit dari Sutrisno Lukito sebesar Rp 16.100.000.000. Namun setelah menerima dari Sutrisno Lukito, lewat dari enam bulan jangka waktu yang telah ditentukan, Alit tidak pernah menindak lanjuti pengurusan surat rekomendasi pengembangan dan pembangunan kawasan Pelabuhan Benoa.
Pula, surat rekomendasi pengembangan dan pembangunan kawasan Pelabuhan Benoa tidak pernah diterbitkan oleh Gubernur Bali kepada PT. Bangun Segitiga Mas.
"Uang yang diberikan Sutrisno Lukito kepada Alit ternyata tidak dipergunakan untuk melakukan pengurusan izin-izin dan rekomendasi Gubernur Bali untuk pengembangan dan pembangunan Pelabuhan Benoa. Oleh Alit digunakan untuk kepentingan pribadinya sebesar Rp 2 miliar," ungkap Jaksa Raka Arimbawa.
Juga diungkap dalam dakwaan, uang itu dibagi-bagi kepada Putu Pasek Sandoz Prawirotama sebesar Rp 7,5 miliar, dan 80 ribu dollar atau senilai Rp 800 juta. Apabila ditotal menjadi Rp 8.300.000.000. Candra Wijaya menerima Rp 4,6 miliar dan Made Jayantara Rp 1,1 miliar.
"Mengakibatkan saksi korban Sutrisno Lukito mengalami kerugian Rp 16.100.000.000," urai jaksa dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali itu. CAN