Kabar Seleb
Perjalanan Musik Pop Bali: Dari Yong Sagita, Bayu KW, hingga Lolot Band
Apakah Anda suka mendengarkan lagu-lagu berbahasa Bali?Industri musik pop Bali tampaknya selalu mengalami pasang surut, semarak dan redup.
Penulis: Widyartha Suryawan | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM – Apakah Anda suka mendengarkan lagu-lagu berbahasa Bali?
Industri musik pop Bali tampaknya selalu mengalami pasang surut, semarak dan redup.
Musik Pop Bali pernah mengalami puncak kejayaannya di penghujung tahun 1990-an hingga 2000-an awal.
Di era global seperti sekarang, jika yang dilihat hanya permintaan pasar global, industri musik pop Bali tentu hanya jalan di tempat – yang pendengarnya hanya komunitas terbatas.
Belum lagi jika dihadapkan dengan gempuran musik luar negeri.
Sebut saja misalnya kemunculan Korean Wave (Hallyu) yang memanfaatkan budaya populer (pop culture) seperti, drama TV, film, dan termasuk musik (K-Pop) sebagai salah satu strategi meningkatkan perekonomian Korea Selatan.
Terlepas dari itu, berikut ini adalah perjalanan musik pop Bali yang perlu Anda ketahui.
Bicara Politik
Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof I Nyoman Darma Putra, dalam tulisannya berjudul “Politik Lagu Pop Bali” menyoroti tema-tema politik yang diangkat dalam lagu pop Bali.
Tahun 1960-an lahir lagu Merah Putih karya Gde Darna yang kental dengan nuansa nasionalisme.
Menurut Prof Darma Putra dalam tulisan tersebut, tema-tema politik tidak begitu dieksplorasi pada masa Orde Baru.
Barulah ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, tema-tema politik mulai menyeruak.
Pada 1998, miasalnya, Yong Sagita hadir dengan lagu Kala Kali Zaman Orba yang melantunkan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru.
Bahkan, Yong Sagita secara terang-terangan menjadi garda pendukung Megawati.
Selain Yong, ada pula Lolot Band melalui lagu Bangsat-nya (2003), juga Bintang Band dengan lagu Nusuk-nya (2004) turut mengkritisi politik kekuasaan yang sarat KKN.