Bedah Novel Leak Tegal Sirah Karya Samar Gantang, Ungkap Kisah Korban Pembunuhan 1965 di Bali
Novel berisi kisah perwujudan leak seperti anjing hitam ekor panjang, bola api yang bertarung, tempat pembakaran mayat yang dihinggapi leak
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Novel berisi kisah perwujudan leak seperti anjing hitam ekor panjang, bola api yang bertarung, tempat pembakaran mayat yang dihinggapi leak dan kisah mistis lainnya.
NASKAH berusia 19 tahun itu akhirnya menjadi novel.
Sang penulis I Gusti Putu Bawa Samar Gantang memberi judul Leak Tegal Sirah.
Menurut Samar Gantang, novel ini diangkat dari kisah nyata yang difiksikan.
Antropolog I Ngurah Suryawan membedah novel yang terbit bulan November 2019 tersebut di Taman Baca Kesiman Denpasar, Jumat (10/1) petang.
Novel ini berlatar kisah pembantaian massal 1965 di Bali, khususnya di Banjar Tegal Sirah, Kota Carik.
Di sana sebanyak 20 orang yang dianggap simpatisan PKI dibunuh.
Belakangan korban tersebut menjadi leak sirah atau hantu kepala.
I Ngurah Suryawan mengatakan selama tahun 2019, di Bali terbit dua novel yang mengangkat kisah 1965 yakni Lentera Batukaru karya Putu Setia dan Leak Tegal Sirah ini.
Seperti karya sebelumnya, Samar Gantang selalu menuangkan unsur magis dalam karyanya.
"Hal yang tidak pernah lepas dari karya Ajik Samar Gantang yakni selalu ada unsur magis, mungkin berasal dari latar belakang beliau atau hal lain.
Apa yang disampaikan dalam novel ini sangat khas unsur niskala," kata Ngurah.
Hal itu bisa dilihat dari novel yang berisi kisah perwujudan leak, anjing hitam ekor panjang, bola api yang bertarung, tempat pembakaran mayat yang dihinggapi leak dan kisah mistis lainnya.
"Pada novel ini kita bisa melihat banyak detail yang terjadi pada masa pasca G30S sebagai bahan pengetahuan," kata Ngurah Suryawan.
Dalam novel ini diceritakan pula seorang guru bahasa Inggris yang sukarela memberikan kursus bahasa Inggris bagi anak-anak yang tak mampu sekolah atau bosan dengan kehidupan sekolah di dalam ruangan.
Menurut Ngurah Suryawan hal itu adalah salah satu karakteristik orang Bali sebelum tahun 1965.
Namun setelah 1965 orang Bali cenderung kehilangan sikap progresif dan kekritisannya.
"Karakteristik kritis, progresif dan peduli sosial ada sebelum 1965, bagaimana guru dihormati.
Saat itu yang kritis adalah petani, sastrawan, budayawan, pemimpin politik. Belakangan pasca 1965 karakter kritis, agresif perlahan tidak ada lagi," katanya.
Samar Gantang mengatakan, awalnya dia berniat menyimpan saja naskah novel itu.
Namun karena banyak yang mengatakan harus diterbitkan, maka dia pun memenuhinya.
"Ini saya tulis tangan dan saya tuliskan apa yang saya alami sendiri. Di wilayah saya 20 orang dibunuh tidak tahu apa-apa," katanya.
Menurut Samar Gantang, proses hingga terbitnya novel ini memakan waktu 19 tahun.
"Kenapa lama? Karena tulis tangan dan saya simpan. Tapi seri berikutnya satu tahun saya tuntaskan," katanya.
Dia menyebut akan ada dua seri novel lagi yang diterbitkan mengangkat kisah pembunuhan 1965.
Pada seri kedua akan berkisah tentang tameng (algojo).
"Akan ada lima tameng yang berbicara dalam novel seri kedua. Jagal Satak Tegal judulnya," katanya. Sedangkan seri ketiga mengangkat kisah nasib anak-anak korban pembantaian 1965 dan anak-anak para tameng. (i putu supartika)