Wabah Babi Mati Mendadak di Bali Tembus 1000 Ekor, Peternak Babi Bingung Kembalikan Kredit

Wabah kematian babi secara mendadak di Bali sejak bulan Desember 2019 sangat memukul para peternak serta usaha terkait lainnya.

Balai Besar Veterinereriner Denpasar
AMBIL SAMPEL - Petugas Balai Besar Veterinereriner Denpasar mengambil sampel darah babi di Desa Cau Belayu, Kecamatan Marga, Tabanan, Rabu (29/1/2020). 

Wabah Kematian Babi Mendadak di Bali Tembus 1000 Ekor, Peternak Babi Bingung Kembalikan Kredit

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Wabah kematian babi secara mendadak di Bali sejak bulan Desember 2019 sangat memukul para peternak serta usaha terkait lainnya.

Sebagian dari peternak kini bingung mengembalikan  kredit modal dan tidak berani mengisi kandang dengan bibit babi yang baru.

Geger wabah tersebut juga mengurangi omzet penjualan warung babi guling.

Kebingungan mengembalikan kredit modal  diungkapkan Ketut Tedja mewakili para peternak di Desa Cepaka, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Minggu (2/2). 

Di desa ini kurang lebih 200 ekor babi yang mati.

"Klasifikasinya baik babi penggemukan, anak dan indukannya.

Itu baru di Desa Cepaka saja belum desa yang lain," kata Tedja yang juga Perbekel Cepaka. Adapun jumlah babi yang mati di seluruh Tabanan mencapai 527 ekor hingga Kamis (30/1) lalu.

Tedja mengatakan, para peternak kini berpikir keras bagaimana membayar kredit baik itu di koperasi desa maupun di bank. 

Peternak juga harus memikirkan cara mengubur bangkai hewan yang mati sia-sia tersebut.

Dijelaskannya, seorang peternak yang pelihara babi 10 ekor harus memiliki modal awal berupa kandang.

Harga bibit babi (kucit) per ekor antara Rp 600-700 ribu.  Biaya pakan per ekor dalam empat bulan atau hingga panen bisa menelan biaya hingga Rp 2 juta.

Kalau  babi lebih dari 10 ekor, peternak perlu pekerjakan tenaga kerja dengan biaya per bulan sekitar Rp 1 juta.

Jadi modal awal peternak untuk 10 ekor babi saja hingga puluhan juta rupiah. 

"Jika berhasil mereka juga tak seberapa mendapat untungnya karena selama ini harga pakan meroket dan harga jual kerap anjlok.

Terlebih lagi dengan adanya kasus ini harga justru semakin dimanfaatkan oleh oknum- oknum yang berkepentingan," kata Tedja.

Diakuinya, peternak babi sangat cemas dan bingung dengan keadaan ini.

Apalagi pemerintah belum mengumumkan hasil laboratorium mengenai penyebab kematian babi yang kini menembus angka lebih dari 1.000 ekor di seluruh Bali.

Tedja menambahkan, omzet warung babi guling di Desa Cepaka turun hingga 40 persen.

Dampak lainnya, terjadi pencemaran lingkungan karena oknum tertentu  membuang bangkai babi ke Sungai Tukad Penet yang berbatasan dengan Kabupaten Badung.

"Jadi banyak sekali aspek yang dirugikan, baik individu, ekonomi publik, hingga ke lingkungan. Kami berharap pemerintah bisa memecahkan masalah ini," harapnya.

Kecemasan juga melanda Gusti Putu Winiantara, peternak asal Desa Gubug, Tabanan.

Dia  setiap hari harus menyemprotkan disinfektan dua kali untuk induk babinya sebanyak 40 ekor agar tetap sehat.

Biaya operasional makin besar.  Ia memerlukan Rp 25 Juta untuk pakan, obat, dan lainnya dalam sebulan.

"Semoga virusnya tak menyebar sampai ke sini," kata Winiantara.

Dia mengharapkan pemerintah ambil langkah tegas dan cepat. Apalagi mobilitas peredaran ternak babi di Bali  sangat cepat.

Jangan sampai wabah menyebar ke semua wilayah karena banyak peternak buru-buru menjual babinya karena takut alami kerugian lebih besar lagi.

"Kami harap ini disikapi serius bukan menutupi dengan dalih akan berdampak ke pariwisata. Justru ini akan menjadi bumerang.

Sektor pariwisata itu harus didukung peternakan yang baik, alam yang baik, keamanan baik, dan sektor lainnya juga baik. Jika kondisinya seperti ini, wisatawan mana yang akan datang ke Bali?" kata Winiantara.

Belum Berani Isi Kandang

Pantauan Tribun Bali di  Banjar Semana, Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung menunjukkan banyak kandang babi kosong, tak seekor babi pun yang masih tersisa.

Warga setempat mengaku sebagian besar babi  mati mendadak baik induk maupun anaknya.

“Di sini Bapak Made yang jual bibit babi.

Hanya  sudah dijual semua karena beberapa babi mati secara mendadak,” kata warga yang enggan disebut namanya.

Menurutnya, sebagian besar masyarakat di Banjar Semana memelihara babi di belakang rumah. 

Made Sudirta, peternak babi di Banjar Semana mengaku belum berani memelihara babi lagi setelah babinya mati secara mendadak dengan ciri-ciri demam, tidak mau makan sama sekali lalu mati.

“Serangannya begitu cepat," katanya.

Pascakejadian, Sudirta langsung menjual babi indukan yang masih hidup dan sehat. 

“Saya langsung ambil tindakan, cepat," ujarnya, Minggu (2/2).

“Indukan ada yang mati, ada yang seusai melahirkan mati juga. Kalau anaknya ada sekitar 50 lebih. Nah saat mati kan diperiksa oleh dinas, jadi yang dinyatakan masih sehat itu yang saya jual,” ungkapnya.

Pria yang sempat memelihara 25 induk babi itu mengatakan, kandang babinya kini dibersihkan saban hari dan disemprot  (disinfektan) seminggu sekali.

Kematian babi membuat Made Sudirta menderita kerugian Rp 50 juta lebih. 

“Yang jelas untuk biaya pakan per ekor induk saya habiskan uang sebesar Rp 3.200.000. Itu rata-rasa sampai induknya memiliki anak hingga dipisahkan dari induknya,” paparnya.

Made Sudirta mengatakan, tim dari  Pemerintah Kabupaten Badung  sudah mengecek tempat  usahanya dua kali.

Hanya hasil tes laboratorium itu belum disampaikan sehingga pihaknya belum berani beternak lagi.

“Kalau Kabupaten Badung sudah turun. Tapi saya kan tidak tahu dinas terkait bekerja atau tidak ya.

Lucunya lagi, masak dinas Provinsi Bali tidak ada laboratorium yang bisa mengecek wabah ini. Informasi yang saya terima katanya harus ke Medan. Itu yang menurut saya lucu,” katanya.

Menurut dia, tidak hanya peternak yang rugi. Pedagang, penjual serta tukang potong babi bisa menganggur gara-gara wabah ini.

“Di pasaran, penjualannya menurun. Selebihnya masyarakat takut dengan virus tersebut,” kata Sudirta.

Ia berharap pemerintah cepat selesaikan masalah tersebut. “Kalau berlarut-larut kan sangat disayangkan," tandasnya.

Sebagai peternak dia butuh vaksin dan obat untuk basmi virus yang menyerang babi.

“Kalau sudah ada vaksin harapan sembuh babi kan ada. Kita juga berani coba memelihara lagi.

Yang jelas semua itu bukan karena kebersihan kandang. Kandang saya sangat bersih, kotorannya pun ditimbun dan diangkut untuk pupuk  namun tetap kena,” demikian Sudirta.

Sementara itu, Komisi II DPRD Badung minta pemerintah mempertimbangkan asuransi bagi peternak bagi. Dengan demikian, bila terjadi kasus kematian hewan, , para peternak tidak terlalu merugi.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua I Komisi II DPRD Badung I Nyoman Dirga Yusa, Minggu (2/2).

“Saya akan lihat apakah pemberian asuransi memungkinkan secara aturan.

Kalau memungkinkan, kenapa tidak. Asuransi Usaha Ternak Sapi (AUTS) yang saya tahu ada. Kenapa tidak asuransi untuk ternak babi juga diberikan,” kata Dirga Yusa.

Dikonfirmasi terpisah. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan, Wayan Wijana, mengatakan  untuk peternak babi memang belum ada asuransinya.

“Kementerian Pertanian belum mempunyai dasar hukum untuk ansuransinya.

Sehingga atas dasar itu pemerintah daerah belum bisa memberikan  asuransi terhadap peternak babi,” kata Wijana.

Ia menyadari, di Badung banyak warga yang menanyakan ansuransi tersebut. (mpa/gus)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved