Dialog Sastra #69 Bentara Budaya Bali Suguhkan Puisi Romansa Lintas Masa

Pada dialog sastra kali ini, Bentara Budaya Bali secara khusus membincangkan perihal puisi-puisi cinta para penyair Indonesia maupun mancanegara

Penulis: Ni Kadek Rika Riyanti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Tribun Bali/Ni Kadek Rika Riyanti
Dialog Sastra Seri Ke-69 bertemakan “Puisi Romansa Lintas Masa” bertempat di Ruang Galeri, Bentara Budaya, Jalan Prof Ida Bagus Mantra No. 88A, Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (15/2/2020). 

Dalam pemaparannya, Gung Mas Triadnyani menyampaikan bahwa cinta dapat diekspresikan dalam bentuk puisi dengan berbagai cara, dan sebagaimana cinta, menulis puisi juga memerlukan keberanian.

Keberanian menuntun penyair untuk menulis puisi.

Tanpa keberanian, kata-kata akan tetap tinggal di dalam pikiran dan perasaan tanpa seorang pun yang tahu.

Bagaimana keberanian oleh karena cinta itu bisa terjadi?

Efek dari jatuh cinta (mencintai seseorang) dapat memunculkan gairah (meningkatkan hormon adrenalin, kortisol, dan dopamin). Gairah ini sumber pemicu seseorang untuk lebih berani dalam melakukan sesuatu.

Ia juga mengatakan, penyair yang bergairah mengalami semacam amuk badai dalam proses kreatifnya.

Terjadi ketegangan, pergolakan, keraguan, kejalangan, dan berbagai hal berat sekaligus menyenangkan dalam diri penyair, hingga muncullah petikan "menulis puisi adalah kerja intelektual".

"Menulis puisi itu tidak mudah, apalagi membaca puisi," cetus Gung Mas Triadnyani, seolah mewakili peserta yang hadir pada dialog sastra pada Sabtu ini.

Senada dengan Gung Mas Triadnyani, narasumber lainnya, Wayan Westa, datang dengan pemaparannya mengenai Kidung Cinta Pameregan.

Dirinya menuturkan bahwa sastra terutama memberi umat penyadaran, tentang pentingnya kehidupan, tentang pentingnya kemanusiaan, tentang pentingnya peradaban bathin.

"Sastra menyuguhkan itu semua. Sastra menyuguhkan nilai-nilai kemanusiaan, menyuguhkan perasaan-perasaan indah yang dapat ditorehkan melalui puisi."

"Tugas pertama dari sastra adalah menghaluskan perasaan kemanusiaan," ujar budayawan kelahiran 1965 tersebut.

Puisi, sebut Wayan Westa, bisa menjadi peradaban puitik paling tua di dunia, bahkan ketika manusia belum mengenal huruf guna menuliskan segala ikhwal kehidupan.

Melalui lantunan-lantunan puisi cinta Pameregan, orang awam dibuat mudah terjebak.

"Siapakah sebenarnya Ratu yang dipanggil oleh Pameregan? Apakah ia kekasih gelap Pameregan? Atau Pameregan sedang ditimpa gulana hati, terkulai oleh asmara kekasih gelap, lalu menjadikan dia kasmaran dimabuk cinta?" tanya Wayan Westa, lebih kepada bait-bait puisi cinta Pameregan.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved