Dialog Sastra #69, Suguhkan Puisi Romansa Lintas Masa

Dialog Sastra #69 membahas seputar bagaimana kehadiran Generasi Millennial turut memunculkan trend baru perihal cara publik menikmati puisi

Penulis: Ni Kadek Rika Riyanti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Tribun Bali/Ni Kadek Rika Riyanti
Dialog Sastra Seri Ke-69 bertemakan “Puisi Romansa Lintas Masa” bertempat di Ruang Galeri, Bentara Budaya, Jalan Prof Ida Bagus Mantra No. 88A, Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (15/2/2020). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Cinta merupakan satu topik yang tak pernah habis untuk dibahas.

Cinta dan segala buaiannya selalu menarik bagi semua kalangan.

Walau tak selamanya berakhir indah, tema cinta terbukti tetap menjadi pilihan dari segala serial.

Sejak zaman dahulu sampai sekarang, persoalan cinta masih menarik, tetap aktual, dan perlu untuk dikupas hingga ke akar.

Penyekeban Galungan, Kendalikan Diri Agar Tak Dikuasai Sang Bhuta Galungan

7 Zodiak Ini Punya Tipe Pria yang Unik, Apa Kamu Diantaranya ?

Ramalan Zodiak Keuangan 16 Februari 2020, Cancer Ikuti Nalurimu, Keberuntungan Mendatangi Pisces

Para sastrawan, psikolog, antropolog, dan filsuf tidak ada habis-habisnya mengupas persoalan cinta.

Maka kemudian satu per satu pertanyaan muncul:

Ada apa dengan cinta?

Apakah cinta sedemikian penting untuk menjadi topik pembicaraan?

Lalu bagaimana jika cinta itu dibawa ke ranah sastra?

Puisi, contohnya?

Turut serta merayakan bulan cinta dan kasih sayang, hal inilah yang melatarbelakangi Bentara Budaya Bali mengangkat tema "Puisi Romansa Lintas Masa" pada Dialog Sastra seri ke-69 bertempat di Ruang Galeri, Bentara Budaya, Jalan Prof Ida Bagus Mantra No. 88A, Ketewel, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (15/2/2020).

Pada dialog sastra kali ini, Bentara Budaya Bali secara khusus membincangkan perihal puisi-puisi cinta para penyair Indonesia maupun mancanegara seperti karya Chairil Anwar, WS Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, hingga penyair dunia semisal Guillaume Apollinaire, Goethe, William Shakespeare, Pablo Neruda, dan sebagainya, yang diketahui puisi-puisi ini tetap jaya lintas masa.

Tidak hanya itu, selain disambut dengan musikalisasi puisi yang sangat apik pada pembukaan, dialog sastra kali ini juga membahas seputar bagaimana kehadiran Generasi Millennial turut memunculkan trend baru perihal cara publik menikmati puisi.

Seperti melalui puisi-puisi pendek atau penggalan puisi cinta dari sejumlah penyair yang kemudian dimuat di sosial media seperti instagram.

Di sisi lain puisi cinta modern, pada dialog sastra ini juga menampilkan bagaimana bait-bait puisi cinta yang tertuang dalam naskah-naskah Bali kuno, menginspirasi munculnya karya-karya puisi besar dan dalam oleh penulis dan sastrawan masa kini.

Melalui Dialog Sastra seri ke-69 "Puisi Romansa Lintas Masa", Bentara Budaya Bali memperkenalkan dua narasumber yang fasih di bidangnya, Gusti Agung Mas Triadnyani dan seorang budayawan Wayan Westa.

Dalam pemaparannya, Gung Mas Triadnyani menyampaikan bahwa cinta dapat diekspresikan dalam bentuk puisi dengan berbagai cara, dan sebagaimana cinta, menulis puisi juga memerlukan keberanian.

Keberanian menuntun penyair untuk menulis puisi.

Tanpa keberanian, kata-kata akan tetap tinggal di dalam pikiran dan perasaan tanpa seorang pun yang tahu.

Bagaimana keberanian oleh karena cinta itu bisa terjadi?

Efek dari jatuh cinta (mencintai seseorang) dapat memunculkan gairah (meningkatkan hormon adrenalin, kortisol, dan dopamin).

Gairah ini sumber pemicu seseorang untuk lebih berani dalam melakukan sesuatu.

Ia juga mengatakan, penyair yang bergairah mengalami semacam amuk badai dalam proses kreatifnya.

Terjadi ketegangan, pergolakan, keraguan, kejalangan, dan berbagai hal berat sekaligus menyenangkan dalam diri penyair, hingga muncullah petikan "menulis puisi adalah kerja intelektual".

"Menulis puisi itu tidak mudah, apalagi membaca puisi," cetus Gung Mas Triadnyani, seolah mewakili peserta yang hadir pada dialog sastra pada Sabtu ini.

Senada dengan Gung Mas Triadnyani, narasumber lainnya, Wayan Westa, datang dengan pemaparannya mengenai Kidung Cinta Pameregan.

Dirinya menuturkan bahwa sastra terutama memberi umat penyadaran, tentang pentingnya kehidupan, tentang pentingnya kemanusiaan, tentang pentingnya peradaban bathin.

"Sastra menyuguhkan itu semua. Sastra menyuguhkan nilai-nilai kemanusiaan, menyuguhkan perasaan-perasaan indah yang dapat ditorehkan melalui puisi. Tugas pertama dari sastra adalah menghaluskan perasaan kemanusiaan," ujar budayawan kelahiran 1965 tersebut.

Puisi, sebut Wayan Westa, bisa menjadi peradaban puitik paling tua di dunia, bahkan ketika manusia belum mengenal huruf guna menuliskan segala ikhwal kehidupan.

Melalui lantunan-lantunan puisi cinta Pameregan, orang awam dibuat mudah terjebak.

"Siapakah sebenarnya Ratu yang dipanggil oleh Pameregan? Apakah ia kekasih gelap Pameregan? Atau Pameregan sedang ditimpa gulana hati, terkulai oleh asmara kekasih gelap, lalu menjadikan dia kasmaran dimabuk cinta?" tanya Wayan Westa, lebih kepada bait-bait puisi cinta Pameregan.

Lewat terjemahan Tusthi Eddy, begitu jelas menggambarkan bahwa dalam Geguritan Duh Ratnayu itu Pameregan sejatinya tengah memuja Parwati, dewi penguasa gunung, sakti Siwa.

Padanyalah kebaktian kreatif itu dipersembahkan, dipanggil sebagai Ratu.

Pentingnya membaca sastra klasik, menurut Wayan Westa, disamping bisa membaca tanda-tanda zaman, juga bisa membaca etos kreatif para bujangga di zaman dulu, sehingga sampai detik ini bisa mengilhami bagi para pengarang masa kini.

"Sastra klasik memberikan banyak nilai, petuah, moral dan sebagainya, dan jelas itu perlu dibaca sesulit apa pun. Sudah banyak ada penerjemah, sudah banyak ada alih-aksara, dan kita hanya perlu membaca dan meresapinya agar dapat terilhami dan dapat melakukan kematangan-kematangan jiwa," tutupnya.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved