Corona di Indonesia
Panic Buying di Tengah Wabah Virus Corona, Pengamat: Wajar, Karena Pemerintah Kurang Sosialisasi
Pengamat menilai kepanikan masyarakat karena ketidaksigapan pemerintah dan para politisi mengedukasi masyarakat di tengah isu virus corona
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Irma Budiarti
Panic Buying di Tengah Wabah Virus Corona, Pengamat: Wajar, Karena Pemerintah Kurang Sosialisasi
Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro
TRIBUN-BALI.COM, BADUNG - Fenomena kepanikan di kalangan masyarakat Indonesia hingga tidak bisa mengontrol diri dalam berbelanja kebutuhan atau panic buying, dinilai pengamat karena ketidaksigapan pemerintah dan para politisi mengedukasi masyarakat di tengah isu ini.
Dikatakan, wajar terjadi panic buying yang mendorong masyarakat memborong sembako hingga masker dan menyebabkan kelangkaan, setelah pemerintah resmi mengumumkan dua WNI terjangkit virus corona.
Ini disampaikan Pengamat Sosial Universitas Udayana Bali I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa saat dijumpai Tribun Bali, di Gedung Rektorat Universitas Udayana, Jimbaran, Badung, Bali, Rabu (4/3/2020)
"Ini seperti kerumunan yang tidak jelas arahnya, karena fokus yang kita hadapi juga jelasnya cuma satu yaitu itu virus corona, dan tidak jelasnya banyak," kata dia.
Yang dimaksud tidak jelas, menurut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unud ini, pemerintah kurang sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang virus corona.
"Misalnya virus tersebut paling rentan terhadap umur berapa saja, kemudian kan ada jawaban 60 tahun ke atas, 9 tahun ke bawah, itu yang tidak dijelaskan oleh pemerintah, jauh sebelum virus ini muncul di Indonesia," ucapnya.
Selain itu, harus ada penjelasan kenapa virus corona baru sekarang bisa masuk ke Indonesia, lanjutnya, ini bisa dilihat dari genetik, warna kulit, serta iklim dan cuaca, bagimana ketahanan seseorang terhadap Covid-19 ini.
"Itu juga tidak jelas dari dulu, pemerintah tidak pernah menjelaskan hal ini. Kemudian masa inkubasi virus itu seperti apa. Ketidakjelasan inilah yang membuat masyarakat seolah-olah bergerombol crowded tidak jelas, hal inilah yang saat ini terjadi di negara kita," katanya.
• Menangkal Imbas Virus Corona, Pajak Penghasilan Pasal 21 atau PPh Pasal 21 Akan di Tunda
• Penyebaran Virus Corona di China Sedikit Mereda, Tapi Naik di Negara-Negara Ini
Karena ketidakjelasan itulah, menurutnya wajar apabila masyarakat kemudian berperilaku hingga menimbulkan fenomena panic buying dan sebagainya.
Padahal virus corona muncul sudah dari Desember 2019 lalu di China.
"Mereka memborong makanan, kenapa? Justru di Singapura juga seperti itu, kemudian disebarkan di media sosial di Indonesia," ucapnya.
Lalu, soal kelangkaan masker di pasaran, seharusnya juga menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Masker adalah alat dasar bagi masyarakat untuk mencegah virus corona, saya apresiasi ketegasan pemerintah menghukum dan denda Rp 4 miliar penimbun masker, karena masker itu harus tersedia di masyarakat," tuturnya.
Terkait, imbauan pemerintah bahwa masker sebaiknya digunakan bagi mereka yang berada di lokasi berpotensi atau rawan penularan virus saja, dan orang sehat tidak perlu pakai masker.
Ia mengatakan hal itu harusnya disosialisasikan pemerintah sejak jauh-jauh hari, bukan setelah virus corona masuk ke Indonesia.
"Itu kapan diumunkan? Kan baru setelah terpaparnya orang Indonesia oleh virus corona, kenapa tidak dari dulu," kata dia.
Indonesia memiliki sekitar 250 juta penduduk, tambahnya, kemungkinan setengah dari itu tidak paham apa itu virus, apa itu corona, semestinya dari dulu pemerintah menjelaskan dan mengedukasi masyarakat.
• Tak Perlu Panik Virus Corona, Ramayana Jual Masker Dengan Harga Normal
• Imbas Virus Corona Harta Kekayaan 10 Miliader Dunia Ini Menyusut, Jeff Bezos Diurutan Pertama 128 T
"Politisi amburadul tidak bisa menjelaskan bagaimana meng-handle masyarakat, menjaga kesehatan, memberikan keterangan yang jelas, itulah kualitas politisi sekarang dalam keadaan seperti ini, lambat menurut saya, apa artinya empat hari yang lalu, padahal kasusnya di China muncul sejak Desember tahun lalu," tukasnya.
Di lain sisi, menurutnya masyarakat harus menjaga pola interaksi dan perilaku, seperti saat bercakap, bersin, dan tertawa.
"Bercakap terlalu dekat, bersin tidak ditutupi, tertawa terlalu keras, sehingga mudah terpapar, coba tanyakan kepada masyarakat, tahu tidak orang bersin itu berapa kecepatan bersinnya, berapa jarak jangkauan virus di udara," tandasnya.
"Era teknologi, media sosial, menurut saya kebanyakan orang Indonesia sebelum ada virus corona lebih tertarik berita soal artis, gosip dan lain sebagainya. Banyak yang menggali informasi virus corona kan baru-baru saja, sebelumnya kan lebih suka berita artis, gosip," ujarnya.
Dosen Sosiologi FISIP Unud ini menyebut pemerintah Indonesia seharusnya sejak awal sebelum virus corona masuk, sudah menjelaskan bagaimana cara mengantisipasi virus, tidak hanya berkutat pada pintu masuk negara saja.
"Kita lihat Singapura, Australia, Selandia Baru, Malaysia sudah kena, seharusnya sejak awal sudah mengatakan begini cara mengantisipasi virus corona. Sebenarnya tidak salah sejak awal pemerintah Indonsia membuat rumah sakit seperti di China itu, yang khusus menangani virus corona, jangan hanya di bandara saja di Jakarta, Bali saja, tapi daerah-daerah lainnya juga ada tanggap darurat di setiap daerah," katanya.
Kata dia, bukan malah setelah virus corona masuk baru melakukan langkah lebih strategis mendirikan rumah sakit khusus dan lain sebagainya.
"Oke lah itu bagus, meski baru merencanakan, dan jangan saling bantah di tingkat pemerintahan, harus satu pintu, misal dari sisi medis Menteri Kesehatan fokusnya apa, untuk menyikapi masyarakat Menteri Sosial fokusnya apa," pungkas I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa.
(*)