Sidang Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Klod, Para Saksi Ungkap Peran Mantan Perbekel
Sidang lanjutan dugaan korupsi APBDes 2017 Dauh Puri Klod, Denpasar Barat dengan terdakwa mantan bendahara Ni Luh Putu Ariyaningsih
Penulis: Putu Candra | Editor: Ady Sucipto
Sidang Dugaan Korupsi APBDes Dauh Puri Klod, Para Saksi Ungkap Peran Mantan Perbekel
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sidang lanjutan dugaan korupsi APBDes 2017 Dauh Puri Klod, Denpasar Barat dengan terdakwa mantan bendahara Ni Luh Putu Ariyaningsih (33), bergulir di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (3/3).
Kembali tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dikomandoi Kasipidsus Kejari Denpasar, I Nengah Astawa menghadirkan sejumlah saksi.
Dalam agenda pemeriksaan keterangan para saksi terungkap peran mantan Perbekel Desa Dauh Puri Klod, IG Made Wira Namiartha.
Namiartha yang kini menjadi anggota DPRD Kota Denpasar namanya kerap disebut dan diduga berperan dalam pusaran kasus korupsi APBDes Dauh Puri Klod ini.
Selain membeberkan peran Namiartha, nama Ketua Fraksi PDIP DPRD Kota Denpasar, I Kadek Agus Arya Wibawa dan Wakil Wali Kota Denpasar IGN Jaya Negara juga ikut disebut.
Menariknya sidang sempat berjalan tanpa penerangan lampu, lantaran listrik padam. Namun sidang tetap berjalan.
Saksi I Nyoman Mardika dalam keterangannya menyampaikan, bahwa mantan perbekel itu pernah mendatangi rumahnya.
Saat itu Namiartha menyebut Ariyaningsih telah memakai uang sebesar Rp 700 juta. Namun di sisi lain, Ariyaningsih mengaku kepada Mardika menggunakan uang anggaran itu sekitar Rp 100 juta.
"Pak Wira (Namiartha) kemudian meminta agar Ariyaningsih mengaku terus terang memakai uang berapa. Katanya, nanti akan dibantu setelah menjadi anggota dewan," beber Mardika dihadapan majelis hakim pimpinan pimpinan I Wayan Gede Rumega.
Lebih lanjut kepada Mardika, Namiartha kemudian meminta tolong untuk dibuatkan draf pernyataan untuk terdakwa Ariyaningsih, yang menyatakan bahwa terdakwa telah menggunakan uang anggaran (APBDes).
Mardika mengatakan, membuat draf tersebut dengan kolom nominal dikosongkan.
Mardika sendiri diawal kesaksiannya menyatakan, mengetahui adanya ketidakberesan APBDes setelah mendapat informasi dari hasil monitoring dan evaluasi (monev) Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kota Denpasar.
Dari hasil monev diketahui ada dana sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) 2017 sekitar Rp 1,8 miliar. Namun saat ditelusuri hanya ada Rp 900 juta. Bukan Rp 1,8 miliar. Artinya ada selisih Rp 900 juta.
“Antara catatan di buku dengan uang yang ada tidak cocok," terangnya.
Dikatakan Mardika, sebelumnya sempat ada penelusuran dari tim internal desa. Di mana Mardika sendiri ikut menjadi anggotanya.
Masing-masing kaur dan kasi diaudit. Setelah ada audit, BPMPD meminta agar kasus ini diselesaikan secara internal.
Tidak lama kemudian, terdakwa dan perangkat desa lainnya yang merasa memakai uang desa mengembalikan uang. Tak terkecuali Namiartha ikut mengembalikan sekitar Rp 5 juta.
Di sisi lain, kata Mardika, terdakwa Ariyaningsih meminta agar diadakan audit independen.
Sebab, Ariyaningsih merasa tidak sendirian menggunakan uang. Namun, setelah diinformasikan biaya audit internal mencapai Rp 50 juta, akhirnya terdakwa pasrah.
"Saya bilang jika mau diaudit oleh lembaga audit independepen silakan cari sendiri. Itu biayanya sangat besar," tuturnya.
Terkait munculnya nama politisi PDIP Kadek Agus dan Jaya Negara, Mardika menyebut dirinya pernah diajak bertemu dengan dua orang tersebut.
Jaya Negara meminta Inspektorat melakukan investigasi dan diselesaikan secara internal. Namun, kasus ini berlarut-larut tanpa kejelasan kendati Inspektorat sudah turun tangan.
"Sesampainya di inspektorat tidak ada tindakan tegas," ucap Mardika.
Jaksa Astawa mencoba mengorek terkait modus penggunakan uang anggaran tersebut. Dikatakan Mardika, modus pemakaian uang yaitu dengan cara kas bon.
"Kegiatan yang tidak ada dalam RAB APBDes dibiayai oleh APBDes. Jadi, modusnya kas bon atau meminjam uang desa untuk membiayai kegiatan yang tidak ada dalam perencanaan," ungkapnya.
Kesaksian Mardika ini senada dengan kesaksian mantan kaur kesra yang saat ini menjabat Kasi Pelayanan Desa Dauh Puri Klod, Desak Ketut Istri Mahyuni.
Pun sama dengan keterangan mantan kaur keuangan Desa Dauh Puri Klod I Putu Wirawan.
Wirawan menjelaskan, dana Silpa terjadi selama dua periode Namiartha menjadi perbekel.
Sejak 2010 disebut sudah ada Silpa, tapi jumlahnya sedikit. Silpa mulai menumpuk pada 2013 dan 2014. Meski terjadi Silpa yang tidak sesuai antara buku dan realita, semuanya diam.
Hal ini membuat hakim anggota mempertanyakan, kenapa semua diam padahal mengetahui adanya Silpa setiap tahun.
"Sudah terjadi bertahun-tahun. Tapi, semua mendiamkan. Bendahara diam, perbekel tahu juga diam. Mendiamkan inilah yang menjadi pintu terjadinya korupsi," ucap Hakim Hartono.
Menurut Wirawan, yang punya kewenangan mencairkan dana adalah bendahara dan perbekel. Selain keduanya tidak bisa.
Sementara saksi Desak mengatakan, terdakwa melakukan kas bon mengajukan kegiatan lebih dulu sementara kegiatan belum ada.
Pengajuan kas bon ini tanpa disertai surat permintaan pembayaran (SPJ). Semua kasbon cair atas persetujuan Namiartah sebagai perbekel.
"Setiap kasbon disetujui dan ditandatangani perbekel di lembar kasbon," terang Desak. (*)