Ngopi Santai

Mengapa Kini Orang Lebih Mudah Nyinyir daripada Mikir?

Waktu semua orang sama, 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tetapi mengapa hanya sangat sedikit orang yang menciptakan ide-ide dan karya besar?

Penulis: Sunarko | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay
Ilustrasi wanita termenung 

Menemani kawan dari Jakarta, sekitar sebulan lalu saya ikut terlibat dalam sebuah obrolan dengan seorang pengusaha pariwisata di Bali.

Obrolan itu off the record alias bukan untuk kepentingan publikasi. Topik utamanya sebetulnya tentang hukum, namun satu hal yang sempat disinggung oleh pengusaha itu cukup membekas di pikiran saya. Hal itu ada kaitannya dengan penggunaan telepon seluler (ponsel). Dan untuk yang satu ini, si pengusaha tak keberatan saya mencupliknya.

Tersandung kasus penipuan bisnis, pemilik resor mewah di Bali barat itu dinyatakan bersalah dan divonis 3,5 tahun penjara pada awal tahun 2018. Namun kemudian, upaya hukum berupa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA). Ia dinyatakan tidak bersalah dalam perkara pidana itu, sehingga dibebaskan sejak Januari 2020. Kasusnya dinyatakan sebagai perkara perdata.

“Larangan menggunakan ponsel dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah salah-satu yang saya syukuri selama saya dipenjara. Itu membuat saya lebih fokus dan khusyuk dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Sebetulnya, mencuri-curi kesempatan untuk pakai ponsel ya bisa saja. Tapi, tanpa ponsel, saya justru merasa lebih intens dalam beribadah. Tidak ada distraction (pengalih perhatian). Saya mungkin hanya seminggu sekali pakai ponsel untuk berkomunikasi dengan keluarga atau jika ada hal yang sangat urgent. Masa di penjara adalah masa belajar yang berharga bagi saya, banyak sekali hikmah. Saya anggap ini seperti pendidikan di ‘pesantren`,” kata pengusaha itu.

Mengapa Makin Banyak Orang Kesepian di Tengah Keramaian?

Ponsel dan Selera Makan, Apa Hubungannya?                    

                                                        ***

Dewasa ini siapapun sepertinya mustahil untuk bisa lepas dari gadget, khususnya ponsel (smartphone). Namun, secuplik kisah pengusaha tersebut mengandung pesan kuat bahwa membatasi penggunaan ponsel adalah hal yang seharusnya berani kita coba.

Penulis buku Digital Minimalism, profesor Cal Newport, pun menyampaikan pesan senada.

Tentu saja, kita tidak harus masuk ‘pesantren’ Lapas lebih dulu seperti pengusaha itu untuk menemukan cara terbaik dalam menggunakan piranti teknologi, khususnya smartphone.

Dua tahun lalu, Cal Newport (guru besar Ilmu Komputer di Georgetown University, AS) berhasil meyakinkan 1.600 orang untuk mengikuti tantangan darinya, yang disebutnya bisa benar-benar mengubah hidup mereka.

Apa tantangan itu?

Untuk kepentingan risetnya, Newport meminta 1.600 orang itu untuk “puasa” selama 30 hari dari menggunakan piranti teknologi, terutama ponsel. Tentu saja tantangan tersebut disodorkan asalkan “puasa ponsel” itu tak membuat mereka dipecat dari pekerjaan, bercerai atau mengakibatkan orang yang dicintai jadi murka.

Singkat cerita, orang-orang itu diminta untuk mengucapkan selamat tinggal pada media sosial (medsos) terutama pada Facebook, Instagram, Twitter dan lain-lain selama sebulan.

Namun, untuk hal-hal yang sangat primer dan keharusan, mereka masih boleh menggunakan ponsel dengan disertai batasan-batasan. Aturannya antara lain begini: boleh cek email tapi hanya di jam-jam yang ditentukan; pun boleh lihat layar ponsel namun hanya terbatas pada jam-jam tertentu.

Apa yang terjadi kemudian?

Ternyata, tak seorangpun yang mengikuti tantangan profesor Newport itu sampai jadi edan gara-gara “puasa ponsel”.

Memang, awalnya transisi itu berat bagi kebanyakan dari mereka yang mengikuti tantangan. Tapi setelah itu, bagi sebagian besar mereka, batasan-batasan itu justru akhirnya benar-benar mengubah kehidupan mereka jadi lebih baik.

Mereka jadi lebih happy dan lebih produktif. Mereka juga lebih bisa menghabiskan waktu berkualitas (quality time) bersama anak-anak atau keluarganya.

Seorang ayah yang mengikuti tantangan itu mengungkapkan, awalnya memang seperti aneh. Contohnya, dia adalah satu-satunya orangtua yang tidak pegang ponsel di tengah para orangtua lain yang asyik dengan ponselnya masing-masing saat menemani anak-anak mereka bermain di taman.

"Tapi kemudian si ayah itu menjadi terbiasa dan bahkan nyaman. Sindrom ‘gelisah karena ponsel tertinggal’ bisa diatasinya," tulis Eric Barker dalam sebuah artikelnya yang mencuplik penelitian Cal Newport itu.

Eric Barker, penulis buku laris Barking Up The Wrong Tree, mengungkapkan bahwa di era internet dan kecanggihan smartphone, ada kecenderungan baru pada sebagian orang, yang belakangan ini menggejala makin luas.

Kecenderungan itu adalah kegemaran untuk mengumpulkan satu demi satu informasi dan pengetahuan (yang tersedia demikian banyak di internet) hanya demi mengumpulkannya saja. 

Sekilas kegemaran mengumpulkan ‘pengetahuan’ dari internet itu baik-baik saja. Namun, kata Eric, kegiatan itu masih jauh dari mencukupi untuk membuat kehidupan Anda disebut makin berkualitas. Justru, otak bisa mengalami information-overloaded, yang berujung pada 'stres informasi'.

Apalagi, jika masih kabur apakah kelakuan tersebut memang benar-benar dimotivasi oleh hasrat untuk belajar, ataukah sesungguhnya hanya bagian dari kecanduan berinternet-ria yang sulit dihentikan.

Terlebih, apabila selama berselancar ‘pengetahuan’ di internet itu sesungguhnya lebih banyak waktu yang Anda habiskan untuk bolak-balik beralih perhatian (distract) dengan menengok update status dan percakapan kawan-kawan di medsos.

Membaca dan mendengarkan kuliah atau ide-ide yang bagus di internet (termasuk di dalamnya media sosial seperti Youtube) tentu mengagumkan.

“Saya pun melakukan yang demikian,” kata Eric.

Tapi, Eric menambahkan, orang selalu perlu menyendiri dan berkontemplasi untuk bisa menelurkan hal-hal yang berguna bagi kehidupannya. Dan untuk itu, orang harus menjauhkan dirinya dari stimulus berupa godaan-godaan yang setiap saat selalu mengalir dari ponsel melalui bunyi notifikasi dan sejenisnya.

Dengan kata lain, untuk benar-benar belajar, maka ada waktunya dimana Anda mau tak mau harus menjauhkan ponsel dari diri Anda.

Dalam kesendirian itu, informasi dan pengetahuan yang didapatkan (termasuk dari internet) bisa Anda ekstrasikan, Anda pilah dan pilih mana yang berguna bagi kehidupan Anda.

Masalahnya sekarang, setiap ditanya tentang kontemplasi, banyak orang bilang `mana ada waktu?`.

“Itu karena sesungguhnya waktu mereka lebih banyak dibelanjakan untuk memelototi ponsel. Waktu semua orang sama, 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tetapi mengapa hanya sangat sedikit orang yang menciptakan ide-ide dan karya besar?” kata Eric.

Intinya, keasyikan berponsel-ria telah merampas secara drastis waktu manusia modern untuk menyendiri, dan berkontemplasi. Padahal, kata Cal Newport, peradaban dibangun dari ide-ide besar dan hebat. Dan ide-ide besar lahir melalui perenungan dalam keheningan kesendirian (solitude).  

Anehnya di zaman ini, banyak orang yang saking takutnya dianggap kurang gaul dan sepi-sendiri, sehingga mereka berusaha menyibukkan diri untuk selalu terhubung dengan keramaian. Keramaian yang ditujunya, tiada lain, adalah keramaian di dunia maya. Padahal, itulah sesungguhnya kesepian yang sejati.

“Tidak heran kini banyak orang kesepian di tengah keramaian,” ucap Cal Newport seperti dikutip  Barker.

Kesepian di dunia nyata di tengah keramaian dunia maya itu menciptakan karakter baru orang-orang masa kini, yakni mereka jadi lebih mudah reaktif daripada reflektif. Lebih gampang nyinyir daripada mikir.

Ada hal sedikit saja yang tidak enak atau tidak disetujuinya di media sosial, langsung memberi reaksi, yang kemudian memantik reaksi balik dan demikian seterusnya sehingga terjadi perang di dunia maya, yang ironisnya kerap merembet ke dunia nyata.

“Mikir dong, mikir!” ujar Cak Lontong.

Untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia, menurut Cal Newport, satu piranti teknologi yang disebut smartphone merampas banyak momen kesendirian dan perenungan (deep thought) manusia. Padahal, di masa lampau momen-momen itulah yang banyak melahirkan inspirasi bagi kemajuan peradaban.

Smartphone menghadirkan stimuli yang terus mengalir tanpa henti. Jika anda ingin merenungkan sebuah ide dan memprosesnya menjadi sesuatu yang berharga, itu membutuhkan banyak berpikir, dan kegiatan berpikir itu harus dilakukan terbebas dari stimulus-stimulus lain,” kata Cal Newport.

Kegiatan membebaskan diri dari cengkeraman negatif teknologi digital itu disebutnya sebagai digital declutting process.

“Jadi, jika Anda ingin melahirkan ide-ide besar dan meramunya menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh berguna bagi kehidupan, maka Anda tak cukup hanya dengan membacanya atau menontonnya di internet. Anda harus juga menyediakan waktu untuk memikirkan apa yang telah Anda peroleh di internet itu, untuk mengekstrasi seoptimal mungkin nilai-nilai informasi itu,” jelas Newport. 

Perenungan diri membuat kita bertumbuh sebagai manusia, dan untuk itu jelas tergantung pada kesendirian (solitude). Harus ada waktu di mana Anda hanya sendiri bersama pikiran-pikiran Anda. Karena itu, jadwalkan sekali waktu untuk menyimpan ponsel Anda, dan cobalah berkontemplasi.

Sekali lagi, berefleksi membutuhkan keheningan. Keheningan mensyaratkan kesendirian, bebas dari gangguan notifikasi dan dering ponsel kita.

Bagaimana pendapat(an) Anda?

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved