BI Kerjasama Repo Line dengan Amerika Serikat Sediakan Likuiditas Dolar AS

Bank Indonesia telah mencapai kesepakatan kerjasama repurchase agreement line (repo line), dengan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bank Indonesia telah mencapai kesepakatan kerjasama repurchase agreement line  (repo line), dengan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) senilai USD 60 miliar.

Kesepakatan ini dapat dimanfaatkan Bank Indonesia apabila membutuhkan likuiditas dolar AS.

Demikian disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho, mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.

"Repo line merupakan fasilitas yang memungkinkan bank sentral atau otoritas moneter untuk mendapatkan likuiditas dolar AS dengan menjual secara temporer surat berharga yang dimiliki seperti US treasury, dengan disertai perjanjian untuk membeli kembali," katanya dalam siaran pers yang diterima Tribun Bali, Rabu (8/4/2020).

Polda Bali Sumbang 3600 Minyak Goreng dan 1000 Sak Beras ke Masyarakat yang Membutuhkan  

Masuk Zona Merah Covid-19, Tanggal 10 April 2020 Mendatang Kelurahan Panjer Disemprot Disinfektan

WIKI BALI - Dauh Puri Kauh Denpasar, Sejarah Terbentuknya Hingga Perubahan Nama

Kerjasama repo line dikategorikan sebagai Foreign and International Authorities (FIMA), yang hanya diberikan kepada sejumlah bank sentral.

Hal ini mengindikasikan kepercayaan The Fed terhadap prospek ekonomi Indonesia dan kebijakan makroekonomi yang ditempuh. 

Selain dengan The Fed, Bank Indonesia juga memiliki kerjasama repo line dengan beberapa lembaga seperti Bank for International Settlement (BIS) senilai USD 3 miliar serta bank sentral lain di kawasan senilai USD 500 juta sampai dengan USD 1 miliar.

"Kesepakatan kerjasama repo line ini akan memperkuat second line of defense yang telah dimiliki Bank Indonesia selama ini," jelasnya.

Antara lain kerjasama Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan beberapa negara, yaitu People’s Bank of China (PBoC) senilai CNY200 miliar (setara dengan USD 30 miliar), Bank of Japan (BoJ) senilai USD 22,76 miliar, Bank of Korea (BoK) senilai KRW 10,7 triliun (setara Rp 115 triliun), dan Monetary Authority of Singapore (MAS) senilai USD 10 miliar.

Selanjutnya, Trisno menyampaikan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Maret 2020 tercatat sebesar USD 121 miliar, lebih rendah dibandingkan posisi akhir Februari 2020 sebesar USD 130,4 miliar.

Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.

"Bank Indonesia menilai bahwa cadangan devisa saat ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah," jelasnya.

Penurunan cadangan devisa pada Maret 2020 antara lain dipengaruhi pembayaran utang luar negeri pemerintah dan keperluan stabilisasi nilai tukar Rupiah di tengah kondisi “extraordinary” karena kepanikan di pasar keuangan global dipicu pandemi COVID-19 secara cepat dan meluas ke seluruh dunia.

Kepanikan pasar keuangan global dimaksud telah mendorong aliran modal keluar Indonesia dan meningkatkan tekanan Rupiah khususnya pada minggu kedua dan ketiga bulan Maret 2020.

Dengan langkah stabilisasi dan penguatan bauran kebijakan Bank Indonesia, berkoordinasi erat dengan Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kondisi pasar berangsur-angsur pulih dan mekanisme pasar kembali berjalan sejak minggu terakhir Maret 2020.

"Bank Indonesia akan terus menjaga kecukupan cadangan devisa guna mendukung ketahanan eksternal dan stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan," imbuhnya.

Trisno juga mengungkapkan bahwa kestabilan nilai tukar Rupiah merupakan prioritas saat ini.

 Bank Indonesia memandang bahwa tingkat nilai tukar Rupiah dewasa ini relatif memadai dan diperkirakan akan bergerak stabil serta cenderung menguat ke arah Rp15.000 per dolar AS di akhir tahun 2020.

Nilai Rupiah yang bergerak stabil dan menguat serta mekanisme pasar yang berlangsung baik, mengakibatkan kebutuhan intervensi dari Bank Indonesia menurun.

Sejak awal tahun hingga saat ini, Bank Indonesia sudah melakukan upaya injeksi likuiditas atau quantitative easing  ke perbankan hampir senilai Rp 300 triliun.

Kebijakan itu dilakukan sebagai langkah mitigasi dampak ekonomi Covid-19. Dana tersebut disuntikkan melalui pembelian SBN di pasar sekunder, penyediaan likuiditas ke perbankan melalui mekanisme term-repurchase agreement (repo) serta penurunan GWM.

Untuk tetap menjaga kepercayaan investor asing, lanjut Trisno, Bank Indonesia telah mengadakan video conference dengan para investor di Asia, Amerika, dan Eropa untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang diambil baik oleh Pemerintah, Bank Indonesia maupun OJK. Dengan demikian, diharapkan inflow dapat kembali masuk, cadangan devisa bertambah, dan nilai tukar menguat. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved